SEJARAH PERADILAN RAJA DAN HAK OTORITAS RAJA DALAM MENGADILI (Sebuah Interpretasi Asal Muasal Perkara Perdata dan Pidana)

Abstract

Peradilan pada zaman Airlangga dipegang oleh raja sendiri, dan hukuman badan hanya dijatuhkan oleh raja dan kepada perampok dan pencuri. Akan tetapi, menjadi kenyataan pula, peradilan di zaman kuno dilakukan pula oleh pejabat-pejabat tertentu. Bahkan, di dalam kesatuan-kesatuan hukum wilayah kerajaan, kepala kesatuan menjalankan juga peradilan atas dasar hukum adat. Beberapa hasil penelitian ahli-ahli bangsa Belanda tentang adanya pemisahan peradilan di masa kerajaan di Indonesia seperti peradilan pradata dan peradilan padu. Perkara pradata diadili atau diputuskan oleh raja itu sendiri sementara perkara padu diadili oleh pejabat-pejabat kerajaan. Maka dari itu penulis ingin mengkaji mengapa peradilan raja berbeda dengan peradilan pejabat-pejabat tertentu dalam lingkungan kerajaan. Maka berdasarkan hasil kajian tersebut, perkara Pradata yaitu perkara yang membahayakan mahkota, kemanan dan ketertiban kerajaan, misalnya membuat kerusuhan di dalam kerajaan, melakukan pembunuhan, penganiayaan, perampokan dan lainnya. Sedangkan perkara Padu yaitu perkara mengenai kepentingan rakyat perseorangan, misalnya perselisihan antara masyarakat yang tidak dapat di damaikan secara kekeluargaan, maka perkara seperti ini diadili oleh para pejabat kerajaan. Alasan membedakan peradilan raja dengan peradilan pejabat, karena kasus yang ditangani diperadilan raja bersifat urgen dan sangat mengancam kestabilan dan keutuhan kerajaan, maka tidak boleh main-main dalam penanganannya harus secara tegas oleh raja sendiri. Sementara peradilan pejabat itu menangani kasus perselisihan masyarakat dan kasus itu tidak mengancam eksistensi kerajaan jadi penangannya kurang bersifat urgen sehingga diserahkan kepada para pejabat.