FILSAFAT POLITIK ISLAM TENTANG KEDUDUKAN MANTAN NARAPIDANA MENJADI ANGGOTA LEGISLATIF

Abstract

Di saat ini sedang gonjang ganjing tentang adanya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan Anggota Legislatif. Akhirnya PKPU itu telah ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang di undangkan perjuli 2018. Dimana pasal 4 ayat 3 menyatakan bahwa mantan terpidana Narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan korupsi tidak boleh diikutsertakan.Walaupun secara yuridis Undang-Undang No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD telah membolehkan mantan narapidana menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Mantan narapidana adalah orang yang dulu pernah melakukan kejahatan atau tindakan kriminal dan telah menjalani hukuman. Status mantan narapidana menjadi anggota DPR, DPD, dan DPRD banyak mendapat respon penolakan dari masyarakat. Hal ini didasari bahwa mantan narapidana adalah orang yang sudah cacat secara moral dan tidak lagi dipercaya oleh masyarakat. Memang untuk membangun lembaga Legislatif yang kredibel dan bisa dipercaya oleh rakyat, seharusnya para anggotanya memiliki integritas yang bermoral, cerdas (kompetensi), dan bersikap negarawan apalagi anggota legislatif merupakan representasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Berdasarkan permasalahan ini, penulis ingin melihat dari perspektif filsafat politik Islam (Fiqh Siyasah) tentang kedudukan mantan narapidana menjadi anggota legislatif. Penelitian adalah studi pustaka dengan menelaah persoalan mantan narapida sebagai calon anggota legislative. Dari analisis bahwa tidak ditemukan secara jelas tentang status manta narapidana menjadi legislatif dari al-Qur’an dan Sunnah boleh atau tidaknya. Namun untuk kemaslahatan umat dan kredibel lembaga seharusnya memang orang-orang yang bersih. Artinya dalam pandangan Fiqih Siyasah hukum menjadi anggota legislatif adalah mubah, apabila ia telah bertaubat