Saksi Testimonium de Auditu dalam Sidang Perceraian

Abstract

Saksi yang dihadirkan dalam persidangan seharusnya saksi yang betul-betul mengetahui langsung perkara yang disidangkan, bukan saksi yang mengetahui perkara dari cerita orang lain atau saksi yang mengambil kesimpulan sendiri terhadap kesaksiannya dan kemudian memberikan sebuah kesaksian di persidangan. Namun pada praktiknya, sering kali saksi yang dihadirkan dalam sebuah persidangan adalah saksi yang tidak mengalami sendiri, melihat atau mendengar sendiri perkara yang disengketakan, namun ia dipanggil sebagai seorang yang akan memberi kesaksian. Kesaksian seorang saksi yang demikian disebut dengan saksi Testimonium de Auditu. Dalam hal ini, ada pengadilan yang memakai saksi tersebut sebagai alat bukti, ada juga yang sama sekali tidak memakai kesaksian yang demikian sebagai pertimbangan untuk membuat sebuah putusan. Salah satu putusan yang menolak sebuah kesaksian Testimonium de Auditu adalah putusan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, dengan nomor putusan No 133/Pdt.G/2019/MS-Bna, sedangkan putusan yang menerima saksi Testimonium de Auditu sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan sebuah perkara salah satunya yaitu putusan No. 113/Pdt.G/2019/MS-Aceh.  Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelittian kualitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka (library research), dan penelitian lapangan (field research). Hasil dari penelitian ini adalah Pertimbangan hakim dalam putusan tinggat pertama yaitu keterangan saksi telah sesuai dengan Pasal 308 dan Pasal 309 RBg. Oleh karena itu kesaksian yang dihadirkan menurut pendapat hakim telah memenuhi syarat formil dan materil sebagai saksi. Atas pertimbangan tersebut maka gugatan yang diajukan oleh penggugat diterima oleh majelis hakim tingkat pertama. Kekuatan saksi testimonium de auditu dalam perkara perceraian tidak dapat dijadikan alat bukti utama dalam mengambil keputusan karena tidak memenuhi syarat sebagai saksi, namun saksi testimonium de auditu ini dapat dipakai dalam hal apabila saksi langsung sudah tidak ada, namun saksi testimonium de auditu tersebut tetap harus mengetahui perkara tersebut dari saksi langsung, bukan dari orang lain. Ditinjau dari hukum Islam, saksi testimonium de auditu dikenal dengan istilah saksi istifadhah. Kesaksian yang seperti ini dalam islam hanya dibolehkan dalam beberapa perkara yaitu perkara nasab, kematian, perwakafan, pernikahan, serta kepemilikan atas suatu barang. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan perkara cerai gugat. Pada putusan tingkat banding, tentang alat bukti saksi ini kembali dianalisa satu persatu, salah satunya yaitu alat bukti saksi dan ditemukan bahwa saksi pertama merupakan saksi testimonium de auditu sehingga pengadilan tingkat banding membatalkan putusan tingkat pertama.