Pengembalian Tanda Pertunangan Karena Gagal Pernikahan (Analisis Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Mahar Dalam Perspektif Fiqh, Undang-undang dan Adat Aceh)

Abstract

Praktek pertunangan dalam masyarakat adat di Aceh biasa dilakukan dengan pemberian tanda pertunangan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, baik sifatnya hadiah ataupun panjar mahar. Tanda ini dijadikan sebagai bukti keseriusan kedua pasangan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Apabila pertunangan dibatalkan dari pihak perempuan, ia wajib menanggung denda dua kali lipat dari tanda pertunangan tersebut. Sebaliknya, tanda pernikahan dihitung hangus jika yang membatalkan pihak laki-laki. Kenyataan semacam ini memicu banyak tanggapan dan pandangan. Dalam hal ini, MPU Aceh telah mengeluarkan fatwa mahar mengenai status hukumnya. Adapun pertanyaan pernelitian ini adalah apa yang melatar belakangi MPU Aceh mengeluarkan Fatwa Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Mahar dalam Perspektif Fiqh, Undang-Undang dan Adat Aceh, dan bagaimana dalil dan metode istinbāṭ yang digunakan MPU Aceh dalam menetapkan fatwa. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui metode analisis-normatif. Hasil penelitian ini yaitu: Pertama, fatwa MPU Aceh Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Mahar dalam Perspektif Fiqh, Undang-Undang dan Adat Aceh dikeluarkan dengan sebab prakrek pemberian mahar dan hal-hal lainya yang berkenaan dengannya dipandang perlu untuk dikaji. Kemudian, terdapat beragam pandangan masyarakat tentang mahar, khususnya dalam pengembalian tanda pertunangan karena gagal pernikahan. Ragam pandangan tersebut berpotensi menimbulkan disharmonisasi antar masyarakat. Oleh sebab itu, fatwa mahar dipandang perlu untuk ditetapkan. Kedua, dalil yang digunakan MPU Aceh dalam menetapkan fatwa mahar yaitu Alquran surat al-Nisā’ ayat 4, Hadis riwayat Bukhari dari Abdullah bin Maslamah, Ijma’ ulama, dan kaidah fikih. Keempat dalil tersebut berkaitan dengan kewajiban laki-laki memberikan mahar dan menjadi hak penuh isterinya. Adapun metode istinbāṭ yang digunakan MPU Aceh yaitu cenderung memakai metode bayani atau lughawiyah, yaitu metode dengan melihat kaidah kebahasan. Kaitan dengan pengembalian mahar, MPU Aceh memandang mahar itu menjadi kewajiban suami dan menjadi hak isteri ketika akad nikah telah dilangsungkan. Sebaliknya, mahar yang diberikan sebagai tanda pertunangan wajib dikembalikan ketika pernikahan gagal dilaksanakan. Sebab, hak mahar hanya diterima saat nikah bernar-benar telah diakadkan.