PROSEDUR PENCATATAN ANAK LUAR KAWIN DI CATATAN SIPIL
Abstract
Penulisan artikel ini difokuskan pada Prosedur Pencatatan Anak Luar Kawin di Catatan Sipil, mengenai anak yang lahir dari perkawinan pasangan pasca bercerai, serta peran negara dalam menyelesaikan persoalan mengenai pasangan yang dapat mengaburkan nasab anak kemudian mengenai batasan tanggung jawab ayah biologis dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Perluasan batasan ayah biologis dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Jenis penelitian yang digunakan yaitu hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan sosiologis. Hasil dan kesimpulan yang diperoleh adalah prosedur pencatatan anak luar kawin di Catatan Sipil sama saja dengan prosedur pencatatan anak sah pada umumnya, akan tetapi harus ada penetapan pengadilan terlebih dahulu dengan dasar pengakuan bahwa ia benar ayah biologis dari anak tersebut dengan dibuktikan melalui tes dibidang kesehatan yang sering disebut dengan tes Deoxyribonucleic Acid yang lebih dikenal dengan istilah tes DNA. Syarat-syarat pencatatan dan penerbitan akta kelahiran diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Pencatatan terhadap anak sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan dari seorang anak, maka setiap anak berhak atas suatu nama dan identitas diri dan harus diberikan sejak kelahirannya dan dituangkan dalam akta kelahiran. Undang-undang Perlindungan anak membolehkan adanya pengakuan terhadap anak yang diakui oleh ayah biologisnya, akan tetapi nasab anak luar kawin itu bukan kepada ayahnya melainkan kepada ibunya, kecuali dalam hal nafkah dan pendidikan. Negara tidak dapat menjangkau secara rinci mengenai hubungan pribadi seseorang, sehingga siapapun dapat mengaburkan asal-usus anak dengan unsur kesengajaan. Mengenai batasan ayah biologis dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak diatur secara tegas namun mendapat perluasan dalan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010