KEDUDUKAN PSK SEBAGAI KORBAN DALAM TINDAK PIDANA PROSTITUSI
Abstract
Prostitusi merupakan bentuk kejahatan kesusilaan yang dilarang dalam hukum Islam maupun hukum positif. Prostitusi adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah-hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan. Berkaitan dengan prostitusi, hukum positif mengaturnya dalam KUHP pasal 296 dan 506. Selain itu, Ketentuan lain yang mungkin dapat digunakan dalam menjerat praktek prostitusi adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam pasal 1 ayat 8 UU No 21 Tahun 2007 dinyatakan bahwa pelacur (PSK) yang terjerat dalam praktek prostitusi adalah sebagai korban. Karya ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan korban dalam UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan OrangĀ dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap kedudukan PSK sebagai korban dalam kasus prostitusi. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, korban memiliki kedudukan dengan diberikan perlindungan terhadapnya sebagai akibat dari tindak pidana perdagangan orang. Perlindungan terhadap korban dapat diwujudkan dengan pemberian hak-hak atasnya berupa restitusi, rehabilitasi, pemulangan serta reintegrasi sosial. Mengenai PSK yang berkedudukan sebagai korban dalam Undang-undang tersebut tidak sesuai dengan hukum Islam. Karena perbuatan yang dilakukan oleh PSK dengan suka rela tanpa paksaan. Sebaliknya bisa dikatakan sebagai korban apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan paksaan baik dengan ancaman kekerasan maupun penggunaan kekerasan. Dengan demikian, wanita yang terjerat dalam praktek prostitusi tidak bisa dijadikan korban karena tidak sesuai dengan hukum Islam dan juga tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang.