Penetapan Anak Angkat Sebagai Ahli Waris dalam Kajian Fiqih Mawaris (Analisis terhadap Putusan Mahkamah Syar’iyah Nomor 0084/Pdt.P/2016/MS.Bna)

Abstract

Hukum kewarisan dalam Islam tentang pengangkatan anak tidak membawa pengaruh apapun terhadap status kewarisan anak tersebut karena tidak ada hubungan nasab antara keduanya. Namun dalam prakteknya, ditemukan penetapan di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Nomor 0084/Pdt.P/2016/MS.Bna yang menetapkan anak angkat sebagai salah seorang ahli waris. Kajian ini ingin melihat bagaimana proses penetapan terhadap anak angkat sebagai ahli waris di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, apa yang menjadi pertimbangan Hakim dalam menetapkan anak angkat sebagai ahli waris, dan bagaimana tinjauan hukum fiqih mawaris terhadap penetapan anak angkat sebagai ahli waris di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan sebuah kajian melalui pendekatan yuridis empiris dan menggunakan metode pengumpulan data lapangan yang dipadukan dengan metode pengumpulan data kepustakaan melalui teknik wawancara dan dokumentasi. Hasilnya adalah proses penetapan anak angkat sebagai ahli waris dalam penetapan Nomor 0084/Pdt.P/2016/MS.Bna di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh diselesaikan dalam beberapa tahapan, yakni diawali dengan pendaftaran dan registrasi perkara, pembacaan surat permohonan oleh hakim, para pemohon memberikan keterangan di persidangan berkaitan dengan dalil-dalil permohonan, tahapan pembuktian, tahapan permusyawaratan majelis hakim, dan pembacaan penetapan. Adapun pertimbangan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam menetapkan anak angkat sebagai ahli waris didasarkan kepada Pasal 171 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam dan pemeriksaan silsilah keluarga para pemohon untuk menentukan hubungan status kewarisan para pemohon terhadap termohon yang membuktikan bahwa anak angkat tersebut sebenarnya merupakan anak dari saudari perempuan pewaris yang telah meninggal dunia lebih dahulu. Dalam tinjauan fikih mawaris penetapan anak angkat sebagai ahli waris di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dipandang tidak melanggar ketentuan hukum kewarisan Islam dan digolongkan dalam kasus kalalah.