Poligami Menurut Perspektif Fiqh (Studi kasus di Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie, Aceh)

Abstract

Poligami pada dasarnya dibolehkan dalam Islam, yang namun punya aturan-aturan yang wajib dita’ti, yaitu: seorang suami boleh mengawini dengan wanita-wanita yang ia sukai, tetapi jangan sampai keluar dari empat orang istri, disamping itu wajib bersikap keadilan kepada mereka, baik nafkah lahir (makanan pokok, pakaian dalam sehari-sehari) maupun nafkah batin,Efek negatif yang timbul dari keluarga poligami yang terjadi di kalangan masyarakat Aceh, Khususnya di Kemukiman Utue Buloh, Kecamatan PidieKabupaten Pidie, Provinsi Aceh antara lain: Dari pihak istri, tidak mendapatkan keadilan dari sang suaminya, dan secara terpaksa ia mencari uang sendiri untuk membiayai diri dan anaknya yang ditinggalkan suaminya.Dari pihak suami, dalam kehidupan sehari-hari selalu diselimuti oleh kegelisahan, ekonominya takkan pernah cukup-cukup, dan persoaalan yang berhubungan dengan kegitan yang ada dalam lingkungan masyarakat kurang sempat ia peduli.Dari pihak siana, kurang mendapatkan bimbingan dari orang tua, jarang pulang kerumah, dan sifat seorang anak kurang menghormati terhadap orang tuanya.Ada beberapa cara yang perlu kita tempuh agar dapat terhindar dari poligami, antara lain: Sebelum menikahi seseorang wanita yang kita cintai, lebih baik kita adakan sebuah penelitian, bagaimana karakter seseorang yang mau kita nikahi tersebut, baik dari segi agama, keturunan, kecantikan dan kekayaan, kita sebagagai kepala rumah tangga, harus memaklumi tentang kekurangan yang kita miliki, harus memahami apa tujuan dari sebuah pernikahan tersebut, dan bagi setiap orang sangat-sangat diperlukan kepada ilmu pengetahuan agama, agar dapat terhidar dari perbuatan-perbuatan yang melenceng dengan norma agama.Bila kita membaca sejarah mengenai poligami pada dasarnya dilakukan oleh orang-orang tertentu, dalam artian oleh para raja-raja, dan orang-orang yang ekonominya yang cukup memadai (orang kaya). Mereka yang menganggap dirinya lebih berkuasa ketimbang masyarakat celata (biasa), sehingga mereka dengan sangat berani mengambil beberapa wanita, ada yang dikawini dan ada pula yang hanya dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya akibat perang, dan banyak anak gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan mereka, Makin kaya seseorang makin tinggi kedudukanya, makin banyak mengumpulkan wanita. Dengan demikian poligami itu adalah sisa-sisa pada waktu peninggalan zaman perbudakan yang mana hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi