Eksistensi 'Urf dan Adat Kebiasaan Sebagai Dalil Fiqh

Abstract

Di antara sumber hukum yang masih diperselisihkan fuqaha kredibilitasnya adalah ‘urf  dan adat kebiasaan. Dalam hal ‘urf dan adat kebiasaan sendiri masih diperselisihkan, ada yang menyamakan dan membedakannya. Penulis cenderung membedakanya. terdapat tiga argumentasi mengenai kehujjahan ‘urf. Pertama, bahwa hukum Islam banyak menetapkan ‘urf-’urf Arab pra Islam seperti kewajiban keluarga membayar diyat kepada ahli waris yang terbunuh dengan tersalah dan begitu juga aqad jual beli salam. Kedua, mengamalkan ‘urf pada prinsipnya sejalan dengan firman Allah “wa maa ja’alaa ‘alaikum fiddiin man haraja”, karena meninggalkan kebiasaan adalah merupakan kebiasaan hal yang sulit bagi manusia. Ketiga, antusias para fuqaha menerima ‘urf jauh lebih besar bila dibandingkan dengan al-masadir al-tab’iyah al-aqliyah lainnya. Mayoritas ulama menjadikan ‘urf sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Imam Hanafi menggunakan ‘urf dalam berhujjah apabila tidak terdapat hukum dalam nash Qur’an dan Hadith, Ijma’ dan qiyas dan Istihsan. Malikiyah meninggalkan qiyas apabila qiyas itu berlawanan dengan ‘urf, mentakhshishkan yang umum dan mentaqyidkan yang mutlak. Syafi’i menerima ‘urf apabila ‘urf tidak berlawanan dengan nash. Dari segi kehujjahannya Malikiyah membagi ‘urf kepada tiga yaitu pertama ‘urf yang diambil oleh semua ulama yaitu yang ditunjuki oleh nash, kedua ‘urf yang jika diambil berarti mengambil sesuatu yang dilarang oleh syara’ atau meninggalkan sesuatu tugas syara’ (‘urf ini tidak ada nilainya), dan yang ketiga ‘urf yang tidak dilarang dan yang tidak ditunjuki untuk mengamalkannya. Dan ulama Hanabilah menerima ‘urf selama tidak bertentangan dengan nash. Sedangkan ulama Syi’ah menerima ‘urf dan memandangnya sebagai dalil hukum yang tidak mandiri, tetapi harus terkait dengan dalil lain yakni sunnah.