Studi Pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah tentang Ḥakam dan Relevansinya dengan Mediasi di Pengadilan Agama

Abstract

Ulama berbeda pendapat tentang maksud ḥakam dan otoritasnya dalam ketentuan QS. An-Nisā’ ayat 35 terkait menyelesaikan perselisihan suami-istri. Masalah yang ingin diteliti adalah bagaimana makna ḥakam menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, bagaimana otoritas ḥakam dalam menyelesaikan sengketa suami-istri menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dan bagaimana relevansi pemikiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang ḥakam dengan mediasi di Pengadilan Agama. Hasil analisis menunjukkan bahwa makna ḥakam menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah yaitu hakim. Maksud ḥakam bukan dimaknai sebagai wakil atau orang kepercayaan dari keluarga laki-laki atau perempuan. Ketentuan QS. An-Nisā’ ayat 35 menunjukkan makna yaitu dua orang ḥakam sebagai hakim yang menyelesaikan perselisihan masing-masing suami-istri. Otoritas ḥakam dalam menyelesaikan sengketa suami-istri  menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah yaitu diberi kewenangan untuk tetap menyatukan hubungan pernikahan suami-istri yang berselisih, atau bisa juga memutuskan dengan menceraikan keduanya. Terdapat bagian-bagian tertentu yang tampak sama dan relevan antara pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah tentang ḥakam dengan konsep mediasi di Pengadilan Agama. Kesamaan dan relevansi keduanya adalah terletak dari pihak yang menjadi juru damai, yaitu sama-sama ditentukan bukan dari pihak keluarga. Namun perbadaannya yaitu terkait dengan otoritas mediator dan ḥakam. Menurut Ibn Qayyim, ḥakam diberi kewenangan untuk memutuskan dengan menceraikan keduanya. Sementara dalam konsep mediasi, seorang mediator hanya bertugas mendamaikan dan tidak ada kewenangan untuk menceraikan.