Pandangan Imam Ibnu Taimiyah tentang Perkawinan Laki-Laki Muslim dengan Wanita Ahlul Kitab
Abstract
Secara normatif, Islam telah melegalkan laki-laki muslim menikahi wanita ahlul kitab berdasarkan ketentuan surat al-Maidah ayat 5. Namun, dalam ranah fikih, justru masih ditemukan perbedaan pendapat ulama. Menariknya, perbedaan pendapat tersebut tidak hanya terjadi pada tataran hukum pernikahannya, tetapi juga perbedaan dalam memaknai arti dari ahlul kitab itu sendiri, yang pada gilirannya juga berbeda dalam penetapan hukum pernikahannya. Secara khusus, artikel ini mengkaji pandangan Imam Ibnu Taimiyah tentang perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab, dengan tujuan untuk mengetahui dalil dan metode istinbath hukum yang digunakan Imam Ibnu Taimiyah, serta mengetahui ada tidaknya kesesuaian pendapat Ibnu Taimiyah dengan hukum perkawinan yang ada di Indonesia. Hasil analisa menunjukkan bahwa dalil hukum yang digunakan Imam Ibnu Taimiyah yaitu merujuk pada ketentuan surat al-Maidah ayat 5. Pendapatnya yaitu laki-laki boleh menikahi wanita ahlul kitab yang tidak mengerjakan kesyirikan. Namun, wanita ahlul kitab yang perbuatannya terbukti syirik (mempersekutukan Allah), maka mereka masuk dalam cakupan makna surat al-Baqarah ayat 221, yaitu orang-orang musyrik yang dilarang untuk dinikahi. Adapun metode istinbÄá¹ yang digunakan Imam Ibnu Taimiyyah yaitu metode bayyanÄ«,di mana, ketentuan surat al-Maidah ayat 5 bersifat khusus (khaá¹£) dan surat al-Baqarah ayat 221 bersifat umum (‘Äm). Untuk itu, ketentuan surat al-Maidah tentang bolehnya menikahi wanita ahlul kitab masih berlaku, tetapi ahlul kitab di sini dikhususkan hanya wanita Yahudi dan Nasrani yang tidak mengerjakan perbuatan syirik, atau sebelum terjadi penggantian dan pemalsuan ajaran kitab mereka.