BERTAHAN HIDUP DALAM MASA YANG SULIT: KEHIDUPAN SEHARI-HARI MASYARAKAT TIONGHOA PADA MASA REVOLUSI DI SURABAYA

Abstract

Masa revolusi (1945-1949) merupakan salah satu periode yang mencekam dalam sejarah Indonesia. Peperangan yang terjadi selama periode ini, khususnya di Kota Surabaya dan sekitarnya telah menciptakan trauma yang dalam bagi para korbannya. Masyarakat lokal, khususnya kelompok-kelompok masyarakat minoritas seperti India dan Tionghoa berusaha mengamankan diri, mencari tempat perlindungan agar bisa bertahan hidup. Mereka yang mengungsi, merasa Kota Surabaya tidak lagi aman dan nyaman untuk ditinggali. Mereka antara lain mengungsi ke beberapa tempat yang dianggap aman seperti Malang, Pasuruan, Probolinggo, dan Mojokerto. Dengan menggunakan berbagai sumber seperti surat kabar, arsip, karya sastra, dan wawancara dengan berbagai narasumber, artikel ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis nasib masyarakat Tionghoa saat meletusnya perang revolusi di Kota Surabaya dan sekitarnya. Pertanyaan utama yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimana orang-orang Tionghoa menyiasati agar tetap bertahan hidup dalam situasi perang yang sangat tidak aman bagi mereka. Bagaimana cara mereka mencari nafkah, bagaimana mereka menjalankan kehidupan sosial-budaya dan keagamaan mereka? Apakah klenteng sebegai pusat kegiatan religi mereka, aman dari perang? Dengan kata lain, artikel ini akan melihat lebih dalam bagaimana orang-orang Tionghoa Surabaya menyiasati kehidupan mereka selama masa revolusi.