KEKERASAN DAN KRIMINALITAS DI KOTA SEMARANG: ANTARA NEGARA KOLONIAL DAN OTORITAS LOKAL

Abstract

Memasuki dekade pertama awal abad ke-20, Semarang sebagai unit historis mengalami modernisasi yang didukung oleh terbangunnya infrastruktur sebagai kota kolonial, yang mengidealkan keteraturan. Kajian sejarah ini mencoba menghadirkan kehidupan keseharian warga kota dan penguasa kota yang diwarnai oleh keragaman faktual, mulai dari keteraturan hingga ketidakteraturan sosial, namun lebih difokuskan pada kondisi-kondisi ketidakteraturan, ketidakamanan, dan beragam persoalan sosial lainnya yang pernah terjadi di Kota Semarang pada empat dekade akhir era kolonial. Sebagai realitas masa lalu, berbagai permasalahan sosial yang berlangsung di Kota Semarang dikonstruksi berdasarkan sumber primer dan sekunder. Konstruksi historis ini dipahami melalui konsep kekerasan dan kriminalitas. Penguasa kota, yang dalam hal ini adalah gemeente merupakan representasi kuasa dari negara kolonial ingin membuat segala sesuatunya menjadi aman dan teratur, sehingga hukum dan aturan yang diproduksi oleh gemeente didasarkan pada cara pandang kolonial. Dalam konteks implementasi hukum itulah, kemudian atas nama keteraturan maka negara kolonial mengambilalih otoritas yang sebelumnya berada di tangan penguasa lokal, yang mengakibatkan ekslusivitas penguasa lokal. Pada saat yang sama, penguasa lokal ingin mempertahankan eksistensi diri di ruang kota, sehingga yang terjadi adalah sebagian dari mereka terkonversi ke dalam informal services atau ilegal agency di perkotaan. Kajian ini menyimpulkan bahwa ketidakteraturan sosial yang berlangsung di ruang kota membuktikan ketidakmampuan negara kolonial dalam mengatur warga kota.