HAK ATAS TANAH ADAT: GERAKAN MASYARAKAT ADAT PANDUMAAN-SIPATUHUTA SELAMA ERA REFORMASI

Abstract

Masa reformasi ditandai dengan munculnya berbagai gerakan sosial baru di Indonesia, salah satunya adalah gerakan masyarakat adat. Artikel ini akan membahas mengenai gerakan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara yang berhasil mempertahankan tanah adatnya, serta menjelaskan strategi perjuangan untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak atas tanah masyarakat hukum adat dari pemerintah. Tumpang tindih atas kepemilikan tanah adat dengan kawasan hutan negara mengakibatkan konflik antara masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta dengan PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL) pada tahun 2009. Masyarakat menolak tanah adatnya ditunjuk sebagai wilayah areal konsesi PT. TPL karena perusahaan menebangi pohon kemenyan milik masyarakat. Gerakan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta menggunakan identitas budaya masyarakat Batak Toba sebagai alat perjuangannya. Perjalanan panjang perjuangan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta atas tanah adatnya tidak terlepas dari berbagai kekerasan dan intimidasi dari berbagai pihak. Bahkan, sejumlah tokoh yang terlibat dalam konflik tersebut ditangkap dan dipenjara oleh aparat kepolisian. Pada akhir tahun 2016, Presiden Joko Widodo, melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menetapkan dan mengeluarkan tanah adat Pandumaan-Sipituhuta seluas 5.172 hektar dari konsesi PT. TPL. Pada awal tahun 2019, tanah adat tersebut disahkan sebagai hutan adat milik masyarakat hukum adat Pandumaan-Sipituhuta oleh Pemerintah Daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dan tahapan kerja ilmu sejarah.