JIHAD versi SISWA

Abstract

Pemahaman terhadap jihad oleh sebagian orang Islam lebih identik dengan tindak kekerasan, meskipun tidak sedikit umat Islam yang membahami jihad secara universal. kontroversi pemaknaan jihad yang diakibatkan oleh pernyataan-pernyataan dan bahkan kelakuan sebagian orang Islam telah menjadikan konsep jihad semakin membingungkan dan simpang siur, terutama pada era modern sekarang ini. Akibatnya pemahaman jihad menjadi warisan bagi generasi pelajar atau siswa di sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan yang diberikan oleh siswa mengenai jihad? Apakah pemaknaan jihad tersebut terkait dengan pemahaman tentang kekerasan atas nama agama? Dengan demikian, penelitian ini bertujuan memahami bagaimana siswa mengonstruksi pemahaman tentang jihad termasuk pandangan mereka terhadap tindak kekerasan atas nama agama. Penelitian ini dilakukan di Ternate dan Makassar. Kedua daerah ini memiliki sejarah kekerasan bernuansa agama. Makassar dengan kasus peledakan bom terhadap  sasaran yang dikaitkan dengan simbol kapitalisme global (khususnya AS) dan Ternate dengan sejarah konflik berdarah. Hasil penelitian bagian terbesar (63 persen) pemahaman siswa mengenai jihad bersifat puritanisme (fundamentalis sampai ekstrim). Sementara hanya sebagian kecil (18 persen) yang dapat dimaknai sebagai moderat (inklusif). Untuk kedua komunitas, kecenderungan puritanisme lebih kuat di kalangan siswa Ternate (70 persen) dan pandangan moderat hanya 13 persen. Sementara siswa di Makassar, meski tetap didominasi pemaknaan puritanisme (52 persen), kecenderungan pandangan moderat tidak terlalu rendah (27 persen). Pemaknaan siswa tentang jihad pada daerah kasus  didominasi oleh pandangan yang sempit dan lebih mengarah kepada pengertian qital. Hal itu dipahami dari penggunanaan term-term makna jihad sebagai perjuangan, pengorbanan, perang, mati syahid dan pembelaan agama (Islam). Hal ini berbeda dengan prinsip jihad sebagaimana dipahami dari Alquran dan tradisi Nabi. Tidak ada korelasi yang signifikan antara pemahaman jihad dengan sumber-sumber belajar siswa, termasuk sekolah. Hal ini dapat dipahami sebagai lemahnya peran sekolah dalam memberi pemahaman tentang ajaran Islam yang amat sentral tersebut. Pemahaman tentang jihad, dengan demikian, lebih ditentukan oleh konstruksi sosial.