BANDIT-BANDIT REVOLUSI: KEKERASAN TERHADAP RAKYAT SIPIL SELAMA PERANG DI SUMATERA BARAT 1945-1949

Abstract

Tidak lama setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan tahun 1945, di Sumatera Barat ketegangan mulai terasa seiring dengan munculnya kelompok pro dan kontra republik. Kelompok pro republik mulai melakukan operasi sweeping di beberapa wilayah basis Eropa di Sumatera Barat, seperti Padang, Sawahlunto, dan Bukittinggi. Operasi yang utamanya diperuntukkan bagi orang Eropa dan Indo-Eropa, mulai melebar kepada masyarakat pribumi yang diduga termasuk kelompok anti Republik, seperti kaum bangsawan, etnis Tionghoa, pribumi pendatang seperti orang Nias dan orang-orang yang diduga dan dituduh sebagai “kaki-tangan” Belanda. Kelompok-kelompok tersebut menjadi sasaran operasi yang mereka lakukan: pembunuhan dan penyiksaan. Beberapa kali etnis Tionghoa, India dan pribumi yang menjadi sasaran kekerasan tersebut menyurati komandan pasukan Belanda saat itu yang berada di Padang untuk meminta bantuan. Aksi teror oleh kelompok liar bersenjata yang menamai dirinya kelompok republikeun tersebut melakukan penjarahan, dan sebelum mereka membakar rumah-rumah. Perempuan bahkan diculik; diperkosa dan kemudian dibunuh. Hal ini membuktikan bahwa di dalam tubuh tentara republik sendiri, bersemayam bandit-bandit yang motif perangnya bukan lagi semata-mata untuk mempertahankan kemerdekaan, tetapi dengan motif lain seperti balas dendam. Aksi bandit-bandit tersebut seolah dibiarkan, karena dilakukan atas dasar tujuan Revolusi. Hal yang menjadi pertanyaan adalah siapa dan dari mana bandit-bandit ini datang, dan motif yang mendasari mereka melakukan aksi tersebut? Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah, dengan empat tahapan penelitian yaitu, heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Data yang digunakan berupa arsip, foto-foto, koran Belanda dan Indonesia, ego dokumen para pejuang di Sumatera Barat, dan wawancara dengan pelaku yang terlibat pada masa perang tersebut.