UPAYA MERANGKUL KEMBALI JEMAAH AHMADIYAH INDONESIA (JAI): Menata Ulang Kerukunan Umat Beragama
Abstract
Pertentangan terhadap keberadaan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) hingga hari ini masih terus terjadi. Pertentangan ini dilakukan atas dasar Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat, fatwa MUI dan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-18 di Solo. Walaupun demikian, JAI pada dasarnya telah memperoleh pengakuan yang sah dari pemerintah Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.JA.5/23/13 13 Maret 1953. Karena pertentangan-pertentangan yang terus terjadi, JAI hingga hari ini belum diterima secara damai dan seringkali menerima tindakan diskriminasi. Di dalam artikel, penulis menganalisis penyebab utama terjadinya konflik antara Front Pembela Islam (FPI) dengan JAI di Tasikmalaya. Di dalam tulisan ini pula, penulis mengajukan cara lain yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi karena upaya-upaya advokasi litigasi sudah tidak mampu mengendalikan konflik antar keduanya.Kata Kunci: Konflik, JAI, FPI, AdvokasiConflict concerning the existence of Indonesian Ahmadiyah congregation (JAI) still happens today. This is done based on governor regulation of West Java no. 12 of 2011 concerning the activities prohibition of Ahmadiyah congregation in West Java, legal opinion of MUI, and the result of the 18th Muhammadiyah congress in Solo. Even though, JAI has actually obtained legal recognition of Indonesian government based on Decree of the Minister of Justice No.JA.5 / 23/13 March 13, 1953. Because of the ongoing conflicts, JAI has not yet been approved peacefully and often gets discrimination. In this article, the author analyzed the main causes of the conflict between FPI (Front Pembela Islam) and JAI in Tasikmalaya. Here, the author proposes other ways that can resolve conflicts occurred because litigation advocate efforts have been unable to control conflict between the two.Keywords: Conflict, JAI, FPI, Advocate