Kewenangan Menetapkan Kerugian Keuangan Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

Abstract

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa “kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang,  surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Kerugian negara merupakan syarat mutlak untuk terpenuhinya unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” yang terdapat dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya harus dihitung dan ditetapkan agar dapat dipertanggungjawabkan secara hukum untuk kepentingan pembuktian di persidangan, melalui ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), BPK  menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Dilihat dari hal tersebut BPK seyogyanya menjadi lembaga/badan tunggal yang dapat menetapkan kerugian yang dialami oleh negara dengan melakukan perhitungan/audit kerugian negara, berdasarkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor: 16/PID.SUS-TPK/2015/PN.BNA dan Putusan Nomor: 23/PID.SUS/TPK/2017/PN.BNA terdapat penafsiran berbeda mengenai penetapan kerugian negara dengan mendasari pada hasil perhitungan/audit yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Based on the provisions of Article 1 point 22 of Law Number 1 of 2004 concerning State Treasury, states that "the loss of the state / region is a lack of money, securities and goods those are real and certain in number as a result of illegal or negligent acts". State loss is an absolute requirement for the fulfillment of the element "detrimental to the state's finances or the country's economy" contained in the provisions of Article 2 and Article 3 of Law Number 31 in 1999, it is concerning Eradication of Corruption as amended by Act Number 20 in 2001. the number of countries those are real and certain must be counted and determined so that, they can be legally accountable for the sake of verification in court, through the provisions of article 10 paragraph (1) of Law Number 15 in 2006 concerning the State Audit Board (BPK), the BPK assesses and / or determines the amount of state loss caused by unlawful or negligent acts committed by the treasurer, the manager of BUMN / BUMD, and other institutions or agencies that manage state finances. Judging from this, the BPK should be a single institution / agency that can determine losses suffered by the state by calculating / auditing state losses, based on the Decision of the Corruption Criminal Court in Banda Aceh District Court Number: 16 / PID. SUS-TPK / 2015 / PN.BNA and Decisions Number: 23 / PID.SUS / TPK / 2017 / PN.BNA there are different interpretations regarding state loss determination based on the results of calculations / audits conducted by the Financial and Development Supervisory Agency (BPKP).