نقل الحضانة من الأم في منظور الفقه الإسلامي عند المذهب الشافعي والقانون الأندونيسي

Abstract

Mother is the person most entitled to the care of her children as stated in Islamic laws and shari'ah, and this is in line with the nature of a mother who is very fond of their children and mother is the most patient person with their children but there is quite a worrying problem happening in the midst of our society, where there are many cases of mistreatment of children coming from their mothers, not even a few that lead to death. Found in marriage law No. 1 of 1974 and Presidential Decree on Compilation of Islamic law number 1 of 1999 the articles regulating the causes of a mother not getting custody of her child, the author tries to analyze the articles and compare it with the view of mazhab syafi 'i. And the results of the author's analysis shows the similarities between the articles that regulate the transfer of custody of the child from the mother contained in the two laws above with the view of mazhab syafi'i if compared to the eyes of maqasid syari'ah where the articles aimed at maintaining the safety children of hifzu nafs and hifzul aql. But there is a fundamental difference between mazhab syafi'i school and the law that is: in syafi'i school set some conditions for the mother as child custody holder while in the law there is no article that regulates about it. And in syafi'i madhhab mentioned some things that cause the move custody of the child from mother whose purpose is to keep aqidah children to keep straight hifzu addin, keep safety of mother hifzu nafsil ummi and keep honor father hifzu 'irdil abi where purpose of cause - because the intended is not contained in the articles contained in the law.And the authors conclude that the Articles contained in the law that regulate the move of custody of the child from the mother need addition to be more effective in overcoming the problems that occur in the community, especially cases of mistreatment of mothers against their children.Ibu adalah orang yang paling berhak terhadap pangasuhan anak-anaknya sebagaimana tertuang dalam undang-undang dan syari’at islam, dan hal ini sejalan dengan fitrah seorang ibu yang sangat menyayangi anak-anak dan ibu adalah sosok yang paling sabar menghadapi anak-anak dibandingkan orang lain, akan tetapi ada permaslahan  yang cukup menghawatirkan terjadi ditengah-tengah masyarakat kita, dimana didapati banyaknya kasus penganiayaan terhadap anak-anak yang datang dari ibu mereka, bahkan tidak sedikit yang berujung pada kematian. Didapati dalam undang-undang  Perkawinan nomor 1 tahun 1974 dan Keputusan presiden tentang Kompilasi  hukum islam nomor 1 tahun 1999 pasal-pasal yang mengatur sebab-sebab seorang ibu tidak mendapatkan hak asuh anaknya, penulis mencoba menganalisa pasal-pasal tersebut dan membandingkanya dengan pandangan mazhab syafi’i. Dan hasil analisa penulis menunjukan adanya kesamaan antara pasal-pasal yang mengatur tentang pindahnya hak asuh anak dari ibu yang terdapat pada kedua undang-undang diatas dengan pandangan mazhab syafi’I, jika  keduanya dibandingkan menurut kacamata maqasid syari’ah dimana didapati pasal-pasal yang mengatur pindahnya hak asuh ibu terhadap seorang anak dan pendapat para ahli fiqhi dalam mazhab syafi’i sama-sama bertujuan untuk menjaga keselamatan anak atau hifzu nafs dan hifzul aql. Namun terdapat  Perbedaan antara  mazhab syafi’i dan undang-undang  yaitu: dalam mazhab syafi’i ditetapkan beberapa syarat bagi ibu sebagai pemegang hak asuh anak sedangkan dalam undang-undang tidak ada pasal yang mengatur tentang hal tersebut. Dan  dalam mazhab syafi’i disebutkan beberapa hal  yang menyebabkan pindahnya hak asuh anak dari ibu  yang tujuan nya untuk menjaga aqidah anak-anak agar tetap lurus hifzu addin, menjaga keselamatan ibu hifzu nafsil ummi dan menjaga kehormatan ayah hifzu ‘irdil abi dimana tujuan dari sebab-sebab yang dimaksudkan tidak terkandung dalam pasal-pasal yang terdapat  dalam undang-undang. Sekalipun terdapat beberapa perbedaan antara mazhab syafi’i dan  kedua undang-undang diatas, tetapi pasal-pasal yang mengatur tentang pindahnya hak asuh anak dari ibu tidak menyelisihi dalil-dalil yang sharih dalam Al-qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah SAW, dan walaupun demikian menurut penulis Pasal-pasal yang dimaksud tetap memerlukan penambahan agar lebih  jelas dan efektif dijadikan sebagai landasan hukum dalam memutuskan perkara di pengadilan agama. إن أولى الناس في حضانة الولد المحضون أم لشفقتها وصبرها على أعباء الرعاية والتربية ولكن ومن الوقائع المؤسفة التي تناقض فطرة الأم قد حدثت بمجتمعنا اليوم, أن وجد واعتداء واعدام نحو الأولاد من الأم. ولحل المشكلة وضع في القانون مواد تنص على أسباب نقل الحضانة من الأم وذالك في القانون  الوضعي الأندونيسي  الرقم الأول سنة 1974 عن الزواج وفي قرار رئيس الجمهور  الرقم 1 عام 1991 عن  أحكام الأحوال الشخصية,  وقارن الباحث تلك الأسباب المنصوصة في القانونين بنظرة المذهب الشافعي. وينتج من البحث أن  مضمون الأسباب المنصوصة في القانون متفقة بالأسباب المنصوصة من المذهب الشافعي نظرا إلى تحقق مصلحة  حفظ نفس المحضون وحفظ عقله وراء هذه الأسباب. واتفق القانون بالمذهب بأن المحضون المميز يخير بين أمه وأبيه. وورد الخلاف بين القانون والمذهب أبرزها الخلاف في شروط الحاضن ومواد القانون عامة بينما نصوص المذهب مقيدة وأن فقهاء المذهب يراعي تحقق مصلحة حفظ دين المحضون وحفظ نفس الأم وحفظ عرض الأب بينما مادة القانون تغفل عنها, ولكن مع هذا لم يكن الخلاف بينهما خلافا حقيقيا لأن مادة القانون لم تكن تخالف الأدلة الصريحة من الكتاب ولا من السنة حيث أنها مستمدة من الشريعة الإسلامية كذالك, إلا أن المواد التي تبين أسباب نقل الحضانة من الأم ناقصة تحتاج إلى زيادة من البيان أو زيادة في بعض المواد لتكون أوضح كونها مصدرا في القضاء بالمحكمة الدينية.