POLIGAMI DAN KEADILAN DALAM PANDANGAN MUHAMMAD SYAHRUR: STUDI REKONSTRUKSI PEMIKIRAN
Abstract
The problem of justice in polygamy was interesting to be axamined. One of those interesting problem associated with polygamy was the existence of “the upper limits” condition from al Quran. Muhammad Syahrur allowed polygamy only to a widow with child. He used the linguistic approach based of historical-scientific method, but rejected the similarities of al Quran languages and asbab al nuzul. This study aims to show the thought of Muhammad Syahrur about justice concept in polygamy and its critics. This study was a library research employing qualitative and used normative approach. The primary data source which used in this study is Muhammad Syahrur’s work named al Kitab wa al Quran Qira’ah Mu’ashirah dan kitab Nahwa Ushul Jadidah li al Fiqh al Islamy: fiqh Al Mar’ah. The data were collected trough documentation. According to Muhammad Syahrur, polygamy allowed a widow who her husband died and had children. This was based from linguistic approach of al Quran’s verse which differentiate between word “adala” and “qasatha”. Also based relation of polygamy from the third and second, 127th and 129th verse in QS. al Nisa. Those verse explained to us the relation of orphans, widows and how justice a man to this wives. Muhammad Syahrur’s thought was so different with other ulama who treat the word “adala” and “qasatha” as the same. Also explained the relation of the third and second verse of orphan’s wealth and orphan who would be married context. The relation of the third verse with verse 127 based from bride price would give, also verse 129 emerged because of the asbab al nuzul which explained a man impossible to be justice to this wives on emotional leaning, not on providing.Persoalan keadilan dalam poligami menarik untuk dikaji. Salah satu hal yang menarik dari poligami adalah adanya syarat yang “melebihi dari” ketentuan nash al Qur’an. Muhammad Syahrur mensyaratkan dibolehkannya poligami hanya kepada para janda yang mempunyai anak yatim. Syahrur berpegang pada pendekatan kebahasaan dengan metode historis-ilmiah, tetapi ia menolak adanya sinonimitas bahasa al Qur’an dan asbab al nuzul. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pemikiran Muhammad Syahrur tentang konsep keadilan dalam poligami dan kritik terhadap pemikiran tersebut. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif yaitu ilmu tafsir dan ilmu ushul al fiqh. Sumber data primer yang digunakan adalah buku karya Muhammad Syahrur yang berkaitan langsung dengan tema penelitian, yaitu kitab Al Kitab wa Al Qur’an Qira’ah Mu’atsirah dan kitab Nahwa Ushul Jadidah li al Fiqh al Islamy: fiqh Al Mar’ah. Metode pengumpulan data menggunakan model dokumentasi. Menurut Muhammad Syahrur, poligami dibolehkan untuk para janda yang ditinggal mati suaminya dan mempunyai anak (yatim). Hal ini berdasarkan atas pendekatan kebahasaan ayat al Qur’an yang membedakan antara kata ‘adala dan qasatha, serta berdasarkan atas hubungan ayat poligami pada Surat al Nisa’ ayat 3 dengan ayat 2, 127, dan 129. Ayat-ayat tersebut menjelaskan hubungan antara anak-anak yatim, janda-janda yang ditinggal mati, dan tidak dapat berbuat adilnya seseorang terhadap istri-istrinya. Pemikiran Muhammad Syahrur ini sangat berbeda dengan pemikiran kebanyakan ulama yang menyamakan arti kata ‘adala dan qasatha, serta menjelaskan hubungan ayat ketiga dengan ayat kedua dalam konteks harta anak-anak yatim yang dalam pengampuannya dan anak-anak yatim yang akan dinikahinya. Hubungan ayat ke-3 dengan ayat 127 berdasarkan atas mahar yang akan diberikan, serta ayat 129 yang muncul karena ada asbab al nuzul yang menjelaskan manusia tidak dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya dalam hal perasaan, bukan dalam hal pemberian nafkah dan qasm (giliran).