PENERAPAN SYARI’AH DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NATION-STATE PERSPEKTIF HISTORIS DAN FIQH SIYASAH

Abstract

Abstract: The tendency to apply sharia to the state or government by some Muslims is a very interesting new phenomenon in many Muslim countries. Several Muslim countries, such as Indonesia, Pakistan, Jordan, Sudan, Egypt, Morocco, Kuwait and Iran are examples of countries where "Islamist" groups want to implement sharia into government. Of course this desire raises different views from Islamic figures, some support and some oppose it. This paper seeks to find answers to the problems that arise from the views of supporters and opponents of the Islamic state, with the core of the problem are:  (1) seeking and knowing the concept of Islam and Caliphate in the Islamic political system; (2) explaining the government system according to historical perspective; namely in the era of the Prophet Muhammad and Khulafa ar-Rasyidin; and (3) explaining the relationship between religion and state in the concept of siyasa fiqh. The conceptual framework used in this paper is that there are two important things to be achieved in politics, namely (1) politics as anything related to state administration; and (2) politics as all activities directed to seek and maintain power in society. In relation to this, there is often a "tension" between groups that want to implement the Shari'ah into the rules of government with groups that oppose it. If the desires of the two groups cannot be met, then there is no possibility of various acts of violence in a country, and can even lead to a coup against the current government. Some findings from this study are that (1) System of government in an Islamic perspective is not clearly stated in the Quran and Sunnah so that Islamic political thinkers disagree over what government system must be applied in a nation state; (2) In a historical perspective, the system of government in the time of the Prophet Muhammad was more concerned with the substance of Islamic values into the system of state government. This can be seen rules of the Madina Constitution, while the government of the Khulafa ar-Rasyidin used a system of power of autocracy and monarchic dynasty; (3) Islamic political thinkers differ in their views on the relation between religion and state in the concept of siyasa fiqh into three groups, namely (1) religion and state must be integrated and cannot be separated because the state is a political and religious institution; (2) religion and state are not related at all because the Prophet Muhammad was only an ordinary prophet like the previous prophet with the single task of inviting people back to noble life; (3) religions and state relate reciprocally and need each other. Abstrak: Kecenderungan untuk menerapkan syariah Islam ke dalam negara atau pemerintahan oleh sebagian orang Islam merupakan gejala baru yang sangat menarik di banyak negara Muslim. Beberapa negara muslim, seperti Indonesia, Pakistan, Yordania, Sudan, Mesir, Maroko, Kuwait dan Iran merupakan contoh negara-negara di mana kelompok-kelompok “Islamis”-nya ingin menerapkan syariah ke dalam pemerintahan. Tentu saja keinginan tersebut menimbulkan pandangan yang berbeda-beda dari tokoh-tokoh Islam, sebagian ada yang mendukung dan sebagian lagi menentangnya. Tulisan ini berusaha untuk mencari jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dari pandangan para pendukung dan penentang  negara  syariah, dengan inti permasalahannya adalah : (1) mencari dan mengetahui konsep Islam dan Kekhalifahan dalam sistem politik Islam; (2) menjelaskan sistem pemerintahan dalam perspektif historis, terutama pada masa Nabi Muhammad dan Khulafa ar-Rasyidin, dan (3) menjelaskan hubungan agama dan negara dalam konsep fiqh siyasah. Kerangka konseptual yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah bahwa terdapat dua hal penting yang hendak dicapai dalam politik, yaitu       (1) politik sebagai segala yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara; dan (2) politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, seringkali terjadi “ketegangan” antara kelompok yang ingin menerapkan syari’ah ke dalam aturan-aturan pemerintahan dengan kelompok yang menentangnya. Apabila keinginan dari kedua kelompok tersebut tidak dapat dipertemukan, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi berbagai tindak kekerasan dalam suatu negara, dan bahkan dapat menimbulkan kudeta terhadap pemerintahan yang sedang berjalan. Beberapa temuan dari peneletian ini adalah (1) Sistem pemerintahan dalam perspektif Islam tidak disebutkan secara jelas dalam al-Quran dan Sunnah sehingga para pemikir politik Islam berbeda pendapat tentang sistem pemerintahan apa yang harus diterapkan ke dalam sebuah negara-bangsa (nation-state); (2) Dalam perspektif historis, sistem pemerintahan pada masa Nabi Muhammad lebih mementingkan substansi nilai-nilai Islam ke dalam sistem pemerintahan negara. Hal ini dapat dilihat pada aturan-aturan yang tertuang dalam Piagam Madinah, sedangkan pemerintahan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin menggunakan sistem “autocratic power” (kekuatan autokrasi) dan a dynastic monarchy” (dinasti monarkhi); (3) Para pemikir politik Islam berbeda pandangan dalam menyikapi relasi agama dan negara dalam konsep fiqh siyasah menjadi tiga kelompok, yaitu pertama, agama dan negara harus terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan sebab negara merupakan lembaga politik dan sekaligus keagamaan, kedua, antara agama dan negara tidak berhubungan sama sekali (terpisah) karena Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia, ketiga, agama dan negara berhubungan secara timbal balik dan saling membutuhkan.