Pengaruh Fatwa Ulama Dayah dalam Masyarakat Aceh
Abstract
Ulema (Islamic scholar) in Acehnese society occupies the same status as an elite community. Besides teaching religion, ulema also serve functions in various rituals of community life, such as praying for the deceased, reconciling disputes, helping the distribution of inheritance, and leading customary processions in the community. In Acehnese society, ulema not only lead and teach religion but also play a role in the political field. Aceh has Ulema Consultation Council (MPU) to decide on all religious matters. However, the community is more obedient to the ulema around them even though their fatwas are not in the MPU's decision. Sometimes their fatwas are different from the MPU’s. Since it is Tengku (Islamic scholar referred to in Aceh) in their network who decide, their opinions are obeyed. This article will examine how Teungku can influence the community in their network considering their fatwas do not have a binding power due to their unofficial status. This study was conducted using a qualitative approach. Some initial data information on the ulema network was obtained through study documentation in several districts in Aceh. The findings show that the fatwas of Tengku bind and the community obey their fatwas, for they are not aware of the Ulema Consultation Council. According to the community, MPU is absent and does not exist when needed. Furthermore, as an independent institution in deciding religious issues, MPU has not been socialized to the village level.Abstrak: Dalam masyarakat Aceh, posisi ulama sama halnya dengan masyarakat elite di sebuah tempat. Selain mengajar agama, ulama juga berfungsi dalam beragam ritual kehidupan masyarakat. Seperti mendoakan dan menshalatkan jenazah, mendamaikan yang berseteru, membantu pembagian harta warisan, memimpin prosesi-prosesi adat dalam masyarakat, dan lainnya. Kiprah ulama dalam lintas sejarah masyarakat Aceh bukan hanya sebagai pemimpin dan pengajar di bidang agama. Akan tetapi, ulama juga memainkan peran dalam berbagai lini kehidupan masyarakat termasuk dalam bidang politik. Meskipun secara legal formal, Aceh memiliki lembaga MPU untuk memutuskan segala masalah keagamaan. Namun, fenomena yang terjadi masyarakat lebih mematuhi ulama di sekitarnya meskipun tidak ada dalam keputusan MPU. Tidak jarang fatwa tersebut berbeda dengan fatwa MPU, namun karena yang memutuskan adalah teungku dalam jaringannya maka pendapat merekalah yang dipatuhi. Tulisan ini akan mengkaji bagaimana peran aktor “teungku” dapat mempengaruhi masyarakat dalam jaringannya, meskipun fatwa tersebut tidak mengikat karena bukan lembaga resmi. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Informasi sebagian data awal mengenai jaringan ulama diperoleh melalui studi dokumentasi pada beberapa kabupaten di Aceh. Hasil kajian menunjukkan bahwa fatwa ulama dayah menjadi fatwa yang mengikat dan dipatuhi karena masyarakat tidak mengetahui tentang lembaga ulama yang ada di pemerintahan seperti MPU. Menurut masyarakat, MPU tidak hadir dan tidak ada pada saat dibutuhkan. MPU pun sebagai lembaga independen dalam memutuskan masalah agama belum tersosialisasi sampai ke tingkat bawah (desa).