POTENSI SUKUK NEGARA (SBSN) SEBAGAI INSTRUMEN ALTERNATIF PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN
Abstract
Pemerintah mempunyai tiga fungsi penting, yaitu alokasi, distribusi, dan stabilisasi, dimana ketiga fungsi tersebut akan berjalan optimal jika diimbangi dengan kesesuaian pendanaan fiskal yang memadai. Namun, keterbatasan pembiayaan pembangunan seringkali menjadi hambatan utama dalam menjalankan fungsi pemerintah, sehingga berimplikasi pada derajat kualitas pembangunan yang seringkali belum optimal. Persoalan utama terletak pada keterbatasan inovasi akibat terbatasnya instrumen pembiayaan. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana potensi sukuk negara (SBSN) dapat menjadi instrumen alternatif bagi pembiayaan pembangunan. Dengan metode review literatur kritis (critical literature), didapatkan bahwa kebutuhan anggaran pemerintah pusat untuk kasus di Indonesia sangat tinggi. Rata-rata pemerintah selalu mengalami defisit fiskal, sehingga peningkatan ruang fiskal sangat diperlukan dalam rangka memenuhi belanja pemerintah bagi pembiayaan pembangunan. Pengembangan instrumen SBSN merupakan strategi kebijakan municipal bonds, yang sangat bermanfaat bagi pemerintah agar bisa memiliki perencanaan detail jangka panjang. Dibandingkan Utang Luar Negeri (ULN), risiko yang ditimbulkan SBSN relatif lebih rendah. Dibandingkan obligasi konvensional, SBSN sebagai sumber pembiayaan dinilai lebih unggul karena tidak mengandung unsur spekulasi, judi (maysir), riba, dan ketidakjelasan (gharar). Sukuk dinilai lebih memperhatikan prinsip keadilan dan kesetaraan, terutama yang terletak pada konsep bagi hasil/margin. Banyak studi mengungkapkan bahwa selama masa krisis keuangan global pada tahun 2008, penerbitan sukuk di Indonesia pasca dikeluarkannya Undang-Undang SBSN mampu menunjukkan lebih sedikit risiko, kinerja yang lebih baik, dan stabilitas yang lebih tinggi daripada obligasi konvensional. Dengan demikian, SBSN dapat menyediakan alternatif pendanaan bagi sektor publik yang lebih baik, yang secara otomatis akan berimplikasi pada penyediaan pembiayaan pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan penguatan nilai strategis SBSN, yang dapat dilakukan melalui dukungan kebijakan dan komitmen berbagai pemangku kepentingan, terutama dari OJK, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).