Akuntan(Si) Pitung: Mendobrak Mitos Abnormalitas dan Rasialisme Praktik Akuntansi
Abstract
Abstract:This article aims to explain and construct justice in accounting thought and practice, that is commonly filled with intellectual racism. This construction is carried out by employing redefinition (not to say deconstruction) of “normality”. Redefinition is necessary to achieve justice as a concept that does not stand in mystical lever or rhetoric. Si Pitung, a Betawian Hero, is the right metaphor for redefinition process for two reasons. First, Si Pitung has been told as tales or urband legend with his actions to fight for justice. Second, Pitung’s action, in essence, is a logical consequence for “normality” redefinition. At the end, the article suggests that accounting can be redefined as fight against this prejudice and to break away from this myth by changing its assumptions. Through accounting, it is normal to accept changes, and abnormal to sustain status quo of reality. Abstrak:Artikel ini bertujuan menjelaskan dan melakukan konstruksi atas aspek keadilan dalam praktik serta pemikiran akuntansi melalui birokrasi yang seringkali rasis dengan trah keilmuan. Konstruksi ini dilakukan melalui redefinisi (jika tidak mau menggunakan kata ‘dekonstruksi’) “normalitas”. Redefinisi ini sangat dibutuhkan untuk mencapai keadilan, sebagai sebuah konsep, yang berada pada tataran mitos atau wacana. Si Pitung, pahlawan Betawi, adalah metafora yang tepat untuk proses redefinisi ini karena dua alasan. Pertama, kajian tentang si Pitung banyak menempatkan tokoh ini sebagai sebuah mitos- urban legend yang aksinya dilakukan untuk mendapatkan keadilan. Kedua, aksi si Pitung pada esensinya merupakan konsekuensi logis atas redefinisi ‘normalitas’. Akhirnya, artikel ini mengusulkan sebuah perubahan asumsi atas normalitas akuntansi agar keadilan tidak menjadi sekadar mitos. Melalui akuntansi, menerima perubahan menuju perbaikan adalah hal yang normal, sedangkan mempertahankan kemapanan kuasa tertentu/status quo adalah hal yang abnormal.