Fenomena Penolakan Auditor Perempuan oleh Auditee Pandalungan

Abstract

AbstractThe study aimed at examining several reasons of the Pandalungan auditees rejection to female auditors from the cultural side of Pandalungan. This study applied a qualitative approach with a model case study and interview as the data collection technique. Acting as the informans are Pandalungan auditees, a female auditor, a cultural observer and a community leader. As a basis of cultural side analysis, seven elements of the universal cultures are used, those are religious system, social system, knowledge system, languages, art, lifelihood and life tool or technology system. The results indicated that the uncooperative attitude shown by the Pandalungan auditees was one of their ways to avoid female auditors who were more conscientious when doing an auditing process. An emergence of todus or embarassment sense was a reaction in response to female auditors findings on their Monitoring Report (LHP), which were simply translated as indication of corruption, thus disturbing the Pandalungan auditees dignity as a sokkla human being (a good and obedient human being).AbstrakPenelitian ini bertujuan menelaah alasan di balik penolakan auditee Pandalungan terhadap auditor perempuan dari sisi budaya Pandalungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan model penelitian studi kasus dan wawancara sebagai teknik pengumpulan data. Bertindak sebagai informan adalah auditee Pandalungan, auditor perempuan dan budayawan serta tokoh masyarakat. Sebagai sandaran analisis dari sisi budaya, digunakan tujuh unsur budaya universal yaitu sistem religi, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencaharian dan sistem peralatan hidup atau teknologi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap tidak kooperatif yang ditunjukkan oleh auditee Pandalungan merupakan salah satu cara mereka menghindari auditor perempuan yang lebih teliti ketika proses pengawasan. Timbulnya rasa todus atau malu adalah reaksi dari temuan auditor perempuan dalam Laporan Hasil Pengawasan (LHP) yang diterjemahkan begitu saja sebagai indikasi korupsi, sehingga mengusik harga diri auditee Pandalungan sebagai manusia sokkla (manusia yang berlaku baik dan menghindari kemaksiatan).