GENDER KETIGA DAN TRANSPHOBIA SEBUAH DUNIA BARU
Abstract
Judul diatas menjadi tidak umum manakala kita diperhadapkan pada istilah gender yang masih membutuhkan penjelasan panjang di tengah-tengah masyarakat. Ketika seorang kepala daerah dalam pidatonya menyebutkan pada sekelompok perempuan dengan sebutan yang manis “wahai para gender”, lantas semua orang mengasumsikan bahwa gender itu adalah perempuan. Benarkah gender itu berarti perempuan? Ternyata jawaban berdasarkan kajian ilmiah, gender tidak bisa diasumsikan sebagai perempuan melainkan gender adalah konsep yang merujuk pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial, dapat berubah-ubah dengan berlalunya waktu, sangat bervariasi di dalam dan antara budaya. Berbeda dengan kodrat dalam kaitannya dengan penciptaan, maka mahluk di dunia ini terdiri atas perempuan dan laki-laki. Perempuan mempunyai ovum, menstruation, melahirkan dan menyusui, sedangkan laki-laki mempunyai sperma dan penis. Cara pandang yang berlandaskan pada kultur, nilai dan norma-norma tertentu melahirkan kontruksi sosial yang kemudian menempatkan bahwa perempuan itu lemah, feminim, reproduksi, berperan di domestik dan pencari nafkah tambahan, sedangkan laki-laki kuat, maskulin, bekerja di ruangan publik dan pencari nafkah utama. Meskipun pandangan ini tidak semuanya bisa diterima, tetapi masyarakat seolah-olah meyakini sebagai sebuah kebenaran. Konstruksi sosial inilah yang kemudian memunculkan situasi ketidak adilan gender diantaranya perempuan subordinasi laki-laki, pelebelan, doble burden, marginalisasi, kekerasan dan kemiskinan. Jika dikemudian hari muncul fenomena tuntutan untuk “gender ke tiga” adalah situasi yang berbeda. Gender ke tiga dimaksud adalah gejala transseksualisme ataupun transgender yaitu merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidak puasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Pada hakikatnya hal ini adalah masalah kebingungan jenis kelamin. Konon kaum transgender ini seringkali mengalami segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, namun muncul pula pertanyaan besar apakah dengan melegalisasikan gender ketiga menjadi solusi terbaik? Rasa ketidaksukaan terhadap eksistensi transgender (Transphobia) kemudian menjadi fenomena umum yang terus bergulir seiring dengan perjalanan waktu dan derasnya arus globalisasi, sehingga masalah yang muncul menembus batas wilayah di tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional.