MEMBANGUN HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DAERAH [Analisis Komunikasi Kebijakan Publik]
Abstract
Nuansa baru yang dibawa oleh UU No. 32 tahun 2004, adalah adanya suasana parlementer dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sebagaimana wacana yang berkembang saat ini bahwa suasana parlementarian dapat terlihat dengan begitu luasnya kewenangan yang ada pada DPRD, antara lain dengan kewajiban kepala daerah untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD. Kepala daerah dapat diberhentikan sebelum masa jabatan berakhir apabila pertanggungjawabannya ditolak oleh DPRD.Hubungan antara legislatif daerah (DPRD) dengan eksekutif daerah (Pemda) akan muncul berkaitan dengan dilaksanakannya tugas dan wewenang masing-masing, terutama bidang tugas yang menjadi urusan bersama seperti pembuatan peraturan daerah (Perda), penetapan APBD dan lain-lainnya. Dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 16 dikatakan bahwa badan legislatif daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Untuk menjamin pelaksanaan tugas dan kewenangan agar dapat berlangsung seimbang, kepada kedua institusi ini diberi kedudukan sejajar dalam pola kemitraan. Artinya, diantara kedua institusi tidak dikenal hubungan secara hirarkhi atau tidak berlaku hubungan atasan-bawahan. Dengan demikian yang dikenal adalah hubungan koordinatif atau kerjasama, dan bukan hubungan sub ordinatif. Dalam hubungan horizontal ini, masing-masing institusi berada pada jalur tugas dan kewenangannya yang tidak dapat saling diintervensi. Lembaga legislatif dan eksekutif mempunyai tugas dan kewenangannya masing-masing sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Walaupun mereka mempunyai tugas dan kewenangan masing-masing namun keduanya tetap terikat dalam suatu tata hubungan. Hubungan mana akan muncul dengan dilaksanakannya tugas dan kewenangan tersebut. Tata hubungan keduanya adalah sejajar dalam kerangka kemitraan sebagaimana diatur UU No. 32 tahun 2004. Bentuk hubungan antara keduanya tidak selamanya dapat dipertahankan dalam suatu bentuk/pola yang baku. Tuntutan kebutuhan dan perubahan lingkungan membuatnya harus menyesuaikan diri, seperti perubahan peraturan perundang-undangan dari UU No5 tahun 1974 ke UU no.22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 32 tahun 2004.