KEDUDUKAN PEREMPUAN TIONGHOA DI RUMAH TANGGA DALAM NOVEL RAISE THE RED LANTERN [Chinese Women Standing in the Household in the Novel Raise The Red Lanern]

Abstract

Polygamy is considered as major factor of household endings. But, amongst of its everlasting polemic, between the pros and the contras, polygamy keep on doing in the reality. Evenmore, polygamy is also considered as a ritual of masculinity in several cultures, such as, Far East, India, and many tribes throughout the world. One of theinterested polygamy was disclosed by Su Tong in his novel: Raise the Red Lantern, showedthe high complexity and radical tendency of polygamy which causedthe death and psychological suffering for several wives. The unfair competition was represented by the lanterns placement which symbolized the dominant patriarchal authority of Mr. Chen Zuoqian. The purpose of this study was to show the complexity of the polygamy through the side of Teratai’s resistance as the highest academic backgroundwifeamong the other fourth. This research was conducted base on descriptive analysis method. Description of Teratai and the people around her were analyzed using the metaphor concept of Lakoff and Johnson. The metaphor does not only a way to comparison, but also a way to explore local culture as its background. The conclusion was the Chen Zuoqianpolygamous marriage was terribly complex and tended to degrad women in a patriarchal culture. Poligami ditengarai sebagai pemicu keretakan rumah tangga. Namun, di tengah polemik yang tidak berkesudahan, antara pro dan kontra, poligami tetap dijalankan dalam kehidupan manusia. Poligami bahkan dianggap sebagai ritual dalam beberapa budaya di dunia, seperti Timur Tengah, India, Cina, dan beberapa suku asli di berbagai belahan dunia. Salah satu kasus poligami menarik diungkapkan oleh Su Tong dalam sebuah novel yang berjudul Raise the Red Lantern. Poligami yang digambarkan dalam novel tersebut menunjukkan kompleksitas yang tinggi dan cenderung radikal sehingga menimbulkan korban nyawa dan penderitaan psikis yang dialami oleh beberapa istri. Persaingan tidak sehat ditunjukkan oleh simbolisasi penempatan lampion sebagai penanda kuasa patriarkis dominan dalam rumah tangga Tuan Chen Zuoqian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan kompleksitas poligami tersebut melalui sudut perlawanan Teratai sebagai perempuan berlatar akademis yang cukup tinggi sekaligus istri keempat Tuan Chen Zuoqian. Penelitian ini dilakukan dengan metode analisis deskriptif. Deskripsi tentang Teratai dan orang-orang di sekitarnya dianalisis dengan menggunakan konsep metafora Lakoff dan Johnson. Metafora tersebut tidak hanya berfungsi sebagai upaya perbandingan, melainkan mengiris konsep budaya setempat yang menjadi latar belakang cerita. Simpulan yang penulis dapatkan adalah poligami dalam keluarga Chen Zuoqian merupakan perkawinan kompleks dan cenderung merendahkan derajat perempuan di dalam budaya patriarkis