DHABITH KRITERIA HADIS SHAHIH Studi Kasus: Periwayatan Hadis bi al-Ma’na

Abstract

Hadis Rasulullah SAW dalam bentuk qauli (perkataan)  dapat diriwayatkan dengan bentuk lafaz sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah , namun  hadis dalam bentuk perbuatan dan taqrir beliau, sudah tentu diformulasikan oleh para sahabat yang menyaksikannya. Kenyataannya tidak semua hadis qauli ini disampaikan dengan lafaz yang sama. Ada kalanya memang Rasulullah SAW sendiri yang  menyampaikan lafaz yang berbeda karena para shahabat yang menerimanya tidak paham dengan lafaz yang pertama disampaikan Rasulullah SAW, sehingga Rasulullah SAW menggantinya dengan lafaz lain yang dimengerti oleh para shahabat tersebut. Namun ada kalanya para periwayat hadis mengganti lafaz hadis tersebut dengan kata yang bersinonim  disebabkan mereka tidak dapat mengingat lafaz asli yang didengarnya dari Rasulullah SAW. Pada hal dalam menyampaikan hadis, para periwayat tersebut harus dhabith atau dapat menerima hadis dengan baik dan benar dan menyampaikannya kembali sebagaimana yang diterimanya dengan baik dan benar pula.Periwatan hadis yang tidak sesuai dengan lafaz aslinya ini disebut riwayat bi al-ma’na. Dalam realitasnya periwayatan hadis bi al-ma’na  ini tidak dapat dihindari dan sering terjadi. Dalam sejarah hadis, pada awalnya ternyata periwayatan hadis bi al-ma’na  ini merupakan dispensasi sebelum kitab-kitab hadis dibukukan. Dispensasi bagi periwayatan bi al-ma’na ini bukanlah merupakan indikasi dari ketidakkonsistenan para ulama dalam memenuhi persyaratan ke-dhabith-an,  karena sebenarnya para ulama telah menetapkan kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi para rawi dalam periwayatan hadis .