JEJAK KEKERASAN PADA NOVEL "TARIAN BUMI" KARYA OKA RUSMINI

Abstract

<p><em>Tarian Bumi </em>(2007) adalah salah satu novel yang memperlihatkan politik dan adat kekerasan yang jejaknya tidak bisa hilang dan dilupakan hingga saat ini. Novel ini juga bercerita tentang perjuangan perempuan Bali untuk memperoleh dan mengembalikan lagi hal yang telah hilang akibat persinggungan tokoh dengan tragedi politik’65 serta akibat dari pelanggaran adat. Tulisan ini akan mengeksplanasikan: 1) peran adat dan politik dalam melahirkan kekerasan yang bekasnya sulit dihapus dan dilupakan oleh para tokoh perempuan, dan 2) perjuangan para tokoh perempuan sebagai <em>subaltern</em> untuk bertahan hidup dan menyuarakan keinginannya. Penelitian kualitatif deskriptif analistik ini menggunakan perspektif pascakolonial. Berdasarkan analisis pada novel <em>Tarian Bumi,</em> tampak adat dan tradisi masih dipegang erat oleh masyarakat Bali. Kasta atau kelas menjadi penting untuk menentukan perempuan yang berhak berbicara dan yang seharusnya diam. Sebagai seorang Ida Ayu, Pidada merasa gagal lantaran anaknya menikahi seorang sudra. Pengalaman pahit yang dialami Luh Sekar karena status politiknya sebagai bekas anak PKI, membuatnya lebih tegar dan gigih dalam mencapai cita-citanya menjadi seorang jero atau bangsawan. Telaga mencoba memahami bahwa kebahagian hidup bukanlah dari atribut kebangsawan, tetapi justru pada cinta lelaki sudra bernama Wayan. Ulang-alik kelas ibu dan anak yang ditujukan oleh Oka Rusmini lewat sosok Kenanga dan Telaga, menunjukkan bahwa pergulatan <em>subaltern</em> tidaklah mudah dan pertarungannya terus berlangsung selama diskriminasi dan dominasi masih terus terjadi.</p><p> </p><p><em>Tarian Bumi</em> (2007) is one of the novels that showcases the politics and customs of violence that traces can’t be lost and forgotten until now. This novel also tells the story of the struggle of Balinese women to obtain and restore the things that have been lost due to the intersection of the figures with the political tragedy'65 as well as the result of customary violations. This paper will explore: 1) the role of <em>adat</em> and politics in giving birth to violence that is difficult to erase and forgotten by women leaders, and 2) the struggle of women leaders as subalterns to survive and voice their desires. This descriptive analytical qualitative research uses a postcolonial perspective. Based on the analysis on the novel <em>Tarian Bumi</em>, it appears that customs and traditions are still held tightly by the people of Bali. Caste or class becomes important to determine the right woman to speak and who should be silent. As an Ida Ayu, Pidada feels failed because her son married a <em>sudra</em>. Buh Sekar's bitter experience due to his political status as a former PKI child, made him stronger and persistent in achieving his ideals of being a <em>jero</em> or nobleman. Telaga tries to understand that the happiness of life is not from the attributes of the noble, but it is precisely in the love of men sudra named Wayan. The mother-and-child class rounds directed by Oka Rusmini through Kenanga and Telaga figures show that the subaltern struggle is not easy and the fight continues as long as discrimination and dominance continue.</p>