Bahasa Melayu Palembang Mengadopsi Bahasa Arab Fusshah dalam Naskah Palembang Tahun 1842
Abstract
Guna memelihara dan mengembangkan bahasa Melayu, menuju tercapainya mimpi besar membangun peradaban Islam Melayu Nusantara, maka perlu menggali bahasa Melayu yang mendasari bahasa Indonesia sebelum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan yang dipakai sebagai lingua franca selama berabad-abad[1] sebelumnya di seluruh kawasan Nusantara. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengutamakan penjelasan, uraian, dan analisa terhadap suatu peristiwa atau proses kegiatan termasuk terhadap dokumentasi. Dalam penelitian ini menggunakan Naskah yang ditulis pada tahun 1842 berjudul “’Athiyatu r-Rahman fi Bayani Qowa’idi l-Iman” oleh Kemas Muhammad Azhari bin Abdullah bin Ahmad Alfalimbani (1811-1874) di kota Makkah dengan huruf dan angka Jawi. Dalam naskah cetakan Makkah secara jelas disebutkannya bahasa Melayu Palembang yang digunakan dalam mengarang kitabnya tersebut. Bahasa Melayu Palembang, sebagaimana bahasa Melayu lainnya, pada awalnya merupakan bahasa Isyarat, dan berkembang sebagai Lisan, dan bahasa Tulis. Bahasa Melayu Palembang termasuk sebagai bahasa persatuan pada masa itu, bahkan hingga kini, terutama dalam mempersatukan beragam bahasa suku di Sumatera Selatan dan daerah sekitarnya, yang dipakai dalam pergaulan atau hubungan antara suku-suku bangsa yang ada di negara tersebut, seperti di Nusantara. Dalam menuliskan bahasa Melayu Palembang ini, hampir semua huruf Arab dipinjam, baik untuk menuliskan bahasa Melayu Palembang itu sendiri maupun konsep ajaran agama Islam. [1]Hasan Alwi dan Dendy Sugono, Politik Bahasa, BP2B, Kemendikbud, Jakarta, 2011: 5.