Hukum Wakaf Di Indonesia (Tinjauan Terhadap Peraturan Wakaf Sebelum Uu No. 41 Tahun 2004)

Abstract

Salah satu institusi atau pranata sosial Islam yang mengandung nilai sosial ekonomi adalah lembaga perwakafan. Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah Swt., lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, karena akan melahirkan eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap kelompok mayoritas (si miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka ragam. Wakaf telah disyari'atkan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di negara Indonesia. Menurut Ameer Ali, hukum wakaf merupakan cabang yang terpenting dalam syari'at Islam, sebab ia terjalin kepada seluruh kehidupan ibadat dan perekonomian sosial kaum muslimin. Kajian wakaf sebagai pranata sosial merujuk pada tiga corpus, yaitu: 1) wakaf sebagai lembaga keagamaan, yang sumber datanya meliputi: Quran, Sunnah, dan  Ijtihâd; 2) wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara, yang merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara itu; dan 3) wakaf sebagai lembaga kemasyarakatan atau suatu lembaga yang hidup di masyarakat berarti mengkaji wakaf dengan tinjauan sosial yang meliputi fakta dan data yang ada dalam masyarakat. Pada tulisan yang sederhana ini, penulis akan mencoba memaparkan wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara, yang merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia mulai zaman Kolonial Hindia Belanda, zaman kemerdekaan, mulai keluarnya UU No. 5 Tahun 1960 sampai keluarnya PP No. 28 Tahun 1977, dan Kompilasi Hukum Islam.