PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT SEBAGAI IMPLEMENTASI OTONOMI PENDIDIKAN

Abstract

Penyesuaian dengan jiwa dan semangat otonomi itu, antara lain terwujud dalam bentuk perubahan arah paradigma pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, yang tentu juga berdampak pada paradigma perencanaan pendidikannya. Secara ideal, paradigma baru pendidikan tersebut mestinya mewarnai kebijakan pendidikan baik kebijakan pendidikan yang bersifat substantif maupun implementatif. Seperti yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra bahwa dengan era otonomi daerah : ”lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah, madrasah, pesantren, universitas (perguruan tinggi), dan lainnya – yang terintegrasi dalam pendidikan nasional- haruslah melakukan reorientasi, rekonstruksi kritis, restrukturisasi, dan reposisi, serta berusaha untuk menerapkan paradigma baru pendidikan nasional”. Selain itu, implementasi kebijakan tersebut diharapkan berdampak positif terhadap kemajuan pendidikan di daerah dan di tingkat satuan pendidikan. Agar dampak positif dapat benar-benar terwujud, kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah sangatlah diperlukan. Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik diharapkan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius. Fiske menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman berbagai negara sedang berkembang yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan, otonomi berpotensi memunculkan masalah: perbenturan kepentingan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan pendidikan, ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang partisipasi masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas pendidikan oleh masyarakat. Selain itu, dengan perencanaan yang baik, konon merupakan separoh dari kesuksesan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang telah diotonomikan di daerah. Otonomi pendidikan sebagai salah satu bentuk reformasi dalam bidang pendidikan, pada saat ini telah melampaui landasan hukum. Namun harus diakui bahwa reformasi itu masih banyak merupakan wacana ketimbang tindakan konkret. Usaha reformasi belum didukung oleh konsep yang tepat dan jelas serta belum ada kebijakan yang mantap. Reformasi pada hakikatnya adalah perubahan menyeluruh dan mendasar dalam segala aspek kehidupan. Perubahan menyeluruh dan mendasar ini disebut pula sebagai perubahan paradigma atau perubahan sistemik. Perubahan ini tidak sekadar menambah apa yang sudah ada seperti misalnya menambah guru dan gedung sekolah (doing more of the same thing). Perubahan semacam ini baru merupakan awal atau gelombang pertama reformasi. Gelombang perubahan kedua menambah yang sudah ada dengan yang lebih baik atau melaksanakan yang sudah pernah dilakukan dengan cara yang lebih baik.