RESISTENSI AGAMA DAN BUDAYA MASYARAKAT

Abstract

Ethnic group, religion, and cultural interactions are familiar phenomena in Bali. Such an interraction had been there since the island became the locus for trading activities. The concept of Tri hita karana is underlying the harmony on the relations of human beings and God (perhyangan), human beings each others (pawongan) and human beings with the environment (palemahan). Bali is changed now. The culture orientation is on services related to tourism. Bali blast on October 2002 and 2005 effected on the on guard among Baliness. Ajeg Bali is a local wisdom of Baliness –religions and cultures— in order to anticipate outside influences effected toward any aspect of life. The problem in this research is weather Ajeg Bali, as local wisdom able to damm outside culture toward Baliness culture, religion, and economics. *** Interaksi antar etnis, agama dan budaya bukanlah barang langka di Bali. Sejak semula hal tersebut sudah ada, ketika pulau ini menjadi locus perdagangan hasil bumi. Sebab sesungguhnya kebudayaan Bali menjujung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi antar manusia dengan Tuhan (perhyangan), dengan sesama (pawongan) dan dengan lingkungan (palemahan). Konsep ini disebut Tri hita karana. Bali kini berubah. Budayanya berorientasi pada jasa, yang berkait dengan industri pariwisata. Sikap orang Bali kini tidak lagi ramah dan harmoni. Akibat ledakan bom dalam bulan Oktober 2002 dan 2005, masyarakat lebih berhati-hati terhadap para pendatang. Ajeg Bali merupakan kearifan lokal –agama dan budaya– masyarakat Bali dalam rangka menanggulangi pengaruh luar yang mengakibatkan perubahan di berbagai bidang sehingga identitas kebalian mengalami degradasi. Ajeg Bali merupakan bentuk resistensi masyar­akat Bali dalam rangka membatasi pendatang dari luar Bali. Kajian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan “apakah Ajeg Bali, sebuah kearifan lokal masyarakat Bali dapat membendung pengaruh budaya, agama dan ekonomi masyarakat Bali?”