KEDUDUKAN HAK WARIS ANAK DARI PERNIKAHAN INCEST DALAM PERSPEKTIF FIQIH

Abstract

Tujuan dari penulisan artikel ini memberikan pengetahuan tentang kedudukan hak waris anak dari pernikahan incest dalam perspektif fiqh. Pernikahan Incest merupakan pernikahan sedarah yang dilarang dalam agama Islam sehingga perlu dibatalkan pernikahan tersebut sebagaimana diatur dalam surat an-Nisa ayat 23. Di dalam Undang-Undang Perkawinan, larangan perkawinan incest diatur pada pasal 8, sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pada pasal 39. Akibat dari pernikahan incest itu, tentu memiliki akibat hukum terhadap status kewarisan anak dari perspektif fiqih. Anak yang dilahirkan pernikahan incest tidak memiliki kesalahan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, sehingga perlu dilakukan perlindungan atas hak-haknya. Anak perlu mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam al-Qur’an dan perundang-undangan. Bila terjadi suatu sengketa dalam rumah tangga, baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata demi kepentingan si anak meskipun anak tersebut anak yang lahir dari hasil hubungan incest. Hak waris anak incest tidak diatur dalam hukum Islam, karena hukum Islam hanya mengenal anak sah dan anak tidak sah (anak zina). Jika keduanya sama-sama tidak mengetahui hubungan sedarah mereka, maka hukum yang berlaku adalah seperti konsep hilangnya beban hukum atas tiga orang, orang yang khilaf (QS. Al Ahzab: 5), lupa dan orang yang dipaksa. Jika keduanya tidak mengetahui adanya cacat nikah dari aspek larangan pernikahan, maka hubungan suami-isteri yang lalu adalah sah dan tidak dianggap sebagai perbuatan zina. Dan anak hasil perkawinan mereka tetap bernasab kepada bapaknya dan juga berhak mewaris kepada bapak dan ibunya. Kata Kunci: hak waris, anak, pernikahan, Incest