URGENSI KOMUNIKASI KONSELING TERHADAP GANGGUAN KESEHATAN JIWA RINGAN

Abstract

Melakukan kerja konseling, seorang konselor tentu berkomunikasi dengan kliennya. Komunikasi dilakukan secara tatap muka (face to face), sehingga bentuk komunikasi yang tepat dilakukan adalah komunikasi antarpribadi (interpersonal communicaton). Di Indonesia pada masa lalu orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa disebut penyakit gila atau orang gila. Mereka diejek, dikucilkan, dan dianggap sebagai beban keluarga dan masyarakat. Pada bulan Oktober tahun 2010 bertepatan dengan hariKesehatan Jiwa Dunia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia meluncurkankebijakan Indonesia Bebas Pasung 2014. Pasung merupakan tindakan pengekangan secara fisik seperti mengikat, merantai, atau menyekap pasien dengan gangguan jiwa dalam ruangan dalam jangka waktu tak tentu. Namun demikian langkah pemerintah pusat untuk mencanangkan Indonesia bebas pasung 2014 bagi sebagian pemerintah, pelaku layanan kesehatan mental, akademisi dan juga pemerintah daerah belum mendapat dukungan yang solid.Data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orangterkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Indonesia dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk, maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang. Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.Kata Kunci: Urgensi komunikasi konseling, ganguan kesehatan jiwa ringan.