ANALISIS FIKIH KLASIK TERHADAP BADAN HUKUM SEBAGAI AQID
Abstract
Sejak awal kemunculannya di Indonesia pada tahun 1991, sistem perekonomian syariah telah mengalami perkembangan yang begitu pesat. Pegiatnya pun bukan lagi hanya berasal dari kalangan perseorangan saja, melainkan sudah menarik minat perusahaan-perusahaan besar untuk turut bertransaksi pula dalam naungan syariah. Hal ini tentu seharusnya bukan masalah yang berarti, sebab hukum perdata mengakui bahwa perusahaan ataupun bentuk badan hukum lainnya (recht persoon) juga dianggap sebagai subjek hukum yang berhak untuk melakukan tindakan-tindakan hukum sebagaimana manusia perseorangan, termasuk hubungan transaksional. Namun, masalah akan muncul ketika konsep badan hukum tersebut dihadapkan kepada fikih klasik, sebab ternyata dalam teori fikih klasik, pihak yang berkontrak (‘aqid) selalu berupa manusia, bukan korporasi. Ditambah lagi pihak yang berkontrak tersebut haruslah balig dan berakal, serta memiliki kecakapan dalam melakukan kontrak. Walaupun demikian, tentu terdapat celah hukum sebagai solusi atas permasahan ini, karena sejatinya badan hukum memiliki kedudukan strata yang lebih tinggi dibandingkan perseorangan dalam hal kecakapan melakukan kontrak.