STATUS PERKAWINAN YANG SALAH SATU PASANGAN MURTAD (Perspektif UU No. 1 Tahun 1974, KHI dan Fiqh)
Abstract
<p><strong></strong><strong><em>Abstract</em></strong>: Marital status is one of the partners or switching religious apostate in view of ordinance No.1 1974 is different from the view of fiqh. In view of the law does not necessarily decided in a marriage, but must go through the court process. while fiqh see if one partner occurs automatically lapsed rupture marriage after one partner has stated that he or she lapsed without waiting for a trial. Because ordinance No.1 1974 states that: Divorce can only be performed in front of the trial court. next on Article 39 paragraph (2) mentioned, to make divorce there must be sufficient reason, that between husband and wife not be able to live together as husband and wife. Surprisingly in the case as of this writing, the stairway remained harmonious and peaceful as husband and wife. </p><p><strong><em>Keywords</em></strong><strong>: </strong>Status, Marital, Apostate, Legal, Law No.1 of 1974, KHI, Fiqh<strong></strong></p><p> <strong><em></em></strong></p><p><strong><em>Abstrak: </em></strong>Status perkawinan yang salah satu pasangan murtad atau beralih agama dalam pandangan UU No.1 tahun 1974 berbeda dengan pandangan fiqh. Dalam pandangan UU tidak serta merta terjadi putusnya perkawinan, akan tetapi harus melalui proses pengadilan.Sementara fiqh memandang jika salah satu pasangan murtad otomatis terjadi putusnya perkawinan setelah salah satu pasangan menyatakan bahwa dianya telah murtad tanpa menunggu adanya proses pengadilan. Sebab UU No.1 tahun 1974 menyebutkan bahwa: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan. Selanjutnya pada pasal 39 ayat (2) disebutkan, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itutidak dapat hidu rukun sebagai suami istri. Anehnya dalam kasus pada tulisan ini, rumah tangganya tetap rukun dan damai sebagai suami dan istri</p><p> <strong><em>Kata kunci</em></strong>: Status, Perkawinan, Murtad, Sah, UU No.1 tahun 1974, KHI, Fiqh</p>