MENYIMAK ARGUMEN MAHMUD THAHA TENTANG NASKH DAN REFORMASI SYARIAH

Abstract

<em>Reformasi syariah merupakan wacana yang kontroversial. Selain ada sejumlah pemikir yang mengusung dan mendukungnya, banyak juga yang membantah dan melarang untuk menyebarkannya. Wacana yang dipersoalkan, mungkinkan syariah direformasi? Bagaimana caranya? Sejauhmana produk syariah yang dihasilkannya mem</em><em>i</em><em>liki keabsahan dan otoritas yang diakui secara normatif dalam perspektif hukum Islam</em><em>?</em><em> Tulisan ini, tidak untuk me</em><em>n</em><em>jawab atau memberi penjelasan mengenai sejumlah pertanyaan itu, tetapi untuk menelisik argumen seorang tokoh pemikir Islam dari Sudan, pengusung gagasan reformasi syariah. Dia adalah Mahmud Muhammed Thaha. Dalam tu</em><em>l</em><em>isan ini, saya lebih memposisikan diri sebagai orang yang ingin meminta konfirmasi tentang pemikiran tokoh itu, terutama berkaitan dengan argumentasinya tentang konsep naskh dan hubungannya dengan reformasi syariah menuju syariah yang lebih humanis. Pertanyaannya, sejauhmana kerangka konseptual argumen Thaha dalam membangun gagasannya? Apakah argumen tersebut memiliki basis teoritis yang kuat dalam tradisi keilmuan fiqh (ushul al-fiqh), dan seberapa jauh pula hal itu relevan dan signifikan untuk  melakukan reformasi syariah?</em><br /> <br /><em>Sharia reform is controversial discourse. In addition to a number of thinkers who carry and support it, there are many who deny and ban its dissemination. The discourse in question includes: is it possible for sharia to be reformed? How to reform? To what extent Islamic products produced have the validity and authority recognized as normative in the Islamic legal perspective. This paper is not to answer or give an explanation of those questions, but to search the argument of a Sudanese prominent Islamic thinker, the bearer of the idea of reforming the sharia. He is Mahmud Mohammed Taha. In this paper, I prefer to position myself as one who wants to ask for confirmation of his thought, especially with regard to the argument about the concept of naskh and its relationship with the reform of Islamic sharia towards more humane sharia. The questions are, how far the conceptual framework of Taha arguments in establishing the idea? Dose the argument have a strong theoretical basis in the scientific tradition of fiqh (usul al-fiqh), and also how is it relevant and significant to reform the Sharia?</em>