Hakekat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Abstract
Proses peradilan yang dijalankan oleh MK menganut asas-asas yaitu (1) ius curia novit; (2) Persidangan terbuka untuk umum; (3) Independen dan imparsial; (4) Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan; (5) Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem); dan (6) Hakim aktif dan juga pasif dalam persidangan. Selain itu perlu ditambahkan lagi satu asas yaitu asas (7) Praduga Keabsahan (praesumptio iustae causa). Penerapan asas-asas ini yaitu pada seluruh proses penyelesaian sengketa oleh MK. Pengambilan putusan penyelesaian Perselisihan Sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) didasarkan pada keyakinan hakim konstitusi setelah menilai bukti yang diajukan oleh para pihak. Sementara itu, undang-undang telah membatasi kewenangan MK dalam Pemilukada yaitu hanya untuk memutus hasil penghitungan suara Pilkada. Oleh karena itu, MK melalui penafsiran telah menciptakan norma baru dalam putusan-putusan perkara Pemilukada. Dalam beberapa putusannya, MK telah memperluas ruang lingkup kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Pilkada sampai pada proses Pilkada. Pada dasarnya, putusan MK terhadap sengketa Pilkada menganut prinsip hukum yang bersifat Final dan Mengikat (binding). Prinsip hukum tersebut mengandung 2 (dua) makna yaitu Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) mengandung beberapa makna hukum, yaitu: a.) Untuk mewujudkan kepastian hukum sesegera mungkin bagi para pihak yang bersengketa. b.) Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan konstitusional, berbeda halnya dengan pengadilan konvensional yang menerapkan ruang untuk menempuh upaya hukum. c.) bermakna sebagai perekayasa hukum. Dalam artian, Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya, diharapkan mampu merekayasa hukum sesuai yang telah digariskan oleh UUD 1945 sebagai konstitusi (gronwet). d.) Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir tunggal konstitusi. Dengan demikian, kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia diharapkan mampu menjaga stabilitas segenap elemen negara untuk tetap sejalan dengan amanat konstitusi. Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding), melahirkan sejumlah akibat hukum dalam penerapannya. Dalam hal ini, penulis kemudian menggolongkannya ke dalam 2 (dua) garis besar, yakni putusan Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan akibat hukum yang bermakna positif dan akibat hukum yang bermakna negatif. Adapun akibat hukum yang bermakna positif, yaitu: Mengakhiri suatu sengketa hukum; Menjaga prinsip checks and balances; dan Mendorong terjadinya proses politik. Sedangkan akibat hukum yang ditimbulkan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) dalam makna negatif, yaitu: Tertutupnya akses upaya hukum dan terjadinya kekosongan hukum.