Editorial

Abstract

Pendidikan tidak lain adalah suatu proses pembelajaran yang mampu mengundang hadirnya segala bentuk kebenaran (truth) dan kemungkinan (possibility), serta mampu mendorong dan memberikan waktu yang seluasnya kepada kegiatan penemuan (discovery). Dengan begitu, pendidikan harus berada di tengah proses kehidupan itu sendiri dan bukan semata alas persiapan untuk kehidupan mendatang. Ia harus berada di tengah proses kehidupan tersebut, dan bukan di luarnya. Para pendidik pun karenanya harus berada di tengah kehidupan warga belajar, karena peran mereka adalah untuk mendidik (to educe, dari Bahasa Latin: educere), yaitu memampukan warga didik untuk membuncahkan dan mengembangkan segala potensi untuk berkembang. Jika demikian, maka proses pendidikan yang benar akan mampu menumbuhkan keinginan untuk terus melakukan kegiatan penemuan sehingga pemahaman terhadap kehidupan akan terus berkembang dan karenanya harapan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik itu akan selalu ada. Pendidikan dalam hal ini menjadi suatu proses aktif pencarian kebenaran yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan penemuan dan penelitian. Hanya dengan penelitian pemahaman kita terhadap kebenaran dapat diharapkan kemunculannya dan sebaliknya penelitian memberikan pengaruh yang positif terhadap jalannya proses pendidikan itu sendiri. Hubungan antara pendidikan dan penelitian tidak hanya saling melengkapi tetapi lebih sebagai hubungan conditio sine qua non. Hubungan erat tersebut didasari atas suatu pemahaman bahwa teori tidak lain adalah usaha untuk mengikat pengetahuan kita tentang aspek tertentu dari dunia pengalaman yang luas ini. Teori berfungsi untuk memampukan kita memberikan arti terhadap setiap fenomena yang ada di depan kita, disamping memberikan kemampuan yang lebih untuk menggambarkan masa depan jika hubungan-hubungan dalam fenomena itu terjadi. Di sinilah, pendidikan tidak mungkin dipisahkan dari kegiatan penelitian karena berbagai teori yang kita temukan dari kegiatan riset kita tentang suatu kebenaran itu harus menjadi basis dari proses pendidikan bagi semua warga belajar sehingga pada gilirannya pendidikan itu dapat berfungsi untuk tidak hanya menghubungkan dunia teori dan praksis namun juga mengha­dirkan segala kebenaran dan kemungkinan kesiapan manusia menghadapi masa depan.Dalam sinaran pemahaman teoritis di atas, Yayasan Sukma mengembangkan program pendidikannya dengan menerbitkan SUKMA: Jurnal Pendidikan. Jurnal ilmiah yang memfokuskan diri pada diskusi akademik tentang pendidikan ini dirancang sebagai sarana untuk memupuk perbincangan ilmiah seputar teori pendidikan dan relevansinya dengan dunia praksis pendidikan di Tanah Air. Dalam hal ini, kami meyakini bahwa lapisan teoritis pendidikan tidak akan mampu berkembang tanpa proses riset yang berkelanjutan. Jurnal ilmiah di sini berfungsi sebagai media utama untuk memaparkan dan mengkomunikasikan hasil-hasil riset pendidikan itu kepada semua khalayak yang menaruh perhatian terhadap dunia pendidikan di Tanah Air. Jurnal ini akan secara rutin diterbitkan dua kali dalam setahun (bi-annual) dengan mengundang berbagai kalangan ahli, akademisi maupun praktisi pendidikan di seluruh dunia. Pada terbitan pembuka ini, Jurnal Sukma menerbitkan tujuh tulisan yang semuanya saling bertali berkelindan, meski masing-masing bergerak dalam topik yang berbeda. Diawali dari Ahmad Baedowi yang menjelaskan tentang basis-basis filosofik yang menjadi alas utama dari gerakan program pendidikan Sekolah Sukma Bangsa (SSB). Diilhami dari kata ‘Sukma’ yang berarti spirit, ruh atau jiwa ini, SSB dicanangkan sebagai gerakan pendidikan sekolah yang tidak hanya mengandung berbagai keunggulan namun juga membawa spirit kemanusiaan. Dua kata ‘Sukma’ dan ‘Kemanusiaan’ inilah yang menurut Baedowi menjadi pintu masuk bagi sistem pendidikan di SSB yang distinct dan membawa keunggulan dalam arti sebenarnya. Keunggulan itu ada karena terpenuhinya empat nilai dasar di dalamnya, yaitu: pemahaman akan pentingnya prinsip supremasi guru (teacher supremacy), kesetaraan bagi seluruh siswa, partisipasi masyarakat, dan penerapan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) yang terbuka dan inklusif. Tulisan ini disambung secara searah dengan artikel dari Evy I. Siregar et al. yang mendiskusikan tentang persepsi masyarakat tentang kondisi pendidikan saat ini berikut upaya-upaya penanggulang­annya yang ditawarkan di dalamnya. Dalam pandangan penulis, deskripsi tentang kondisi pendidikan yang dialami di sebagian besar negara di dunia yang secara umum digambarkan melalui alat ukur pendidikan seperti TIMMS, PISA ataupun PIRLS perlu kiranya dilakukan penyempurnaan dengan usaha penyelarasan antara tiga hal utama, yaitu kurikulum, proses belajar mengajar dan alat ukur yang digunakan. Penyelarasan itu tampaknya logis dalam usaha kita menutup kesenjangan hasil belajar seperti yang diungkapkan melalui berbagai alat pengukuran seperti tersebut di atas. Pada artikel ketiga, Khoiruddin Bashori menawarkan pemikiran esensial tentang pentingnya menumbuh-kembangkan perilaku prososial bagi siswa. Perilaku ini menurutnya berhubung­an dengan penalaran moral seorang siswa. Dengan perilaku semacam ini warga belajar akan memiliki perilaku positif untuk mudah memberikan manfaat kepada orang lain dengan kesediaannya membantu meringankan beban fisik maupun psikologisnya. Kunci pokoknya tergantung pada kemampuan internalisasi seseorang, yaitu adanya perubahan perkembangan perilaku yang tidak dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal namun lebih pada faktor internalnya. Kemampuan prososial ini dapat ditumbuhkan melalui berbagai program, seperti mengefektifkan hubungan sebaya yang efektif, meningkatkan kedekatan guru dengan siswa dan konteks pembelajaran yang kooperatif dan kolaboratif. Penulis keempat, Khairil Azhar, mempersoalkan tentang bangunan kurikulum, adakah ia memposisikan siswa sebagai agen pembelajaran atau justru sebaliknya menjadi subjek yang pasif. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang mampu menjadikan siswa sebagai subjek yang memiliki atau mampu membangun agensi kemanusiaannya, yang diwujudkan dengan kemampuannya untuk berkehendak, melakukan penilaian moral dalam mengekspresikan diri berdasar pada nilai-nilai independensinya. Di sinilah penulis menyampaikan dua kecenderungan dari pembangunan kurikulum itu: ‘reseptif-reproduktif’ dan ‘reflektif-transformatif’. Secara implisit penulis mendorong untuk lebih dipakainya perspektif kedua dalam pembangunan kurikulum pendidikan di Tanah Air.Fuad Fachruddin pada artikel berikutnya lebih menyo­roti aspek pengembangan daya kreatifitas dalam dunia sekolah. Terdapat beberapa syarat untuk mengembangkan daya kreatifitas tersebut yaitu adanya guru yang kreatif yang di dalamnya mencakup pembelajaran yang kreatif, kepala sekolah yang kreatif dan lingkungan yang kreatif. Dalam konteks dunia sekolah, pengembangan daya kreatif itu dimaksudkan sebagai satu upaya penting dalam peningkatan mutu pendidikan, karena pada gilirannya akan berakibat kepada lahirnya superior learning. Pengembangan daya kreatif tersebut dapat ditempuh dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis masalah, maupun penggunaan konsep dan pendekatan prinsip ‘keterbatasan yang mampu menghasilkan ketidakterbatasan’.  Pada artikel keenam, Satia Prihatni Zen, mendeskripsikan tentang Sistem Informasi Sekolah Terpadu Online (SISTO) dan pengalaman penggunaannya pada Sekolah Sukma Bangsa di Aceh. Manfaat penggunaan sistem informasi ini sudah tidak diragukan lagi, dan tulisan Satia ini secara singkat menjelaskan bagaimana penerapan SISTO tersebut terbukti dapat mendukung pengembangan kapasitas guru melalui kegiatan belajar yang integratif dengan kegiatan guru sehari-hari. Dengan sistem dan fitur tertentu para guru didorong untuk melakukan kegiatan yang bersifat reflektif (reflective practices), seperti: refleksi guru, kolaborasi dalam menyelesaikan masalah, pembuatan keputusan berbasis data serta evaluasi guru berbasis SISTO. Dalam hemat penulis, data yang terangkum dalam sistem informasi seperti itu tidak hanya berguna untuk pengelolaan sekolah namun juga memiliki manfaat yang lebih luas dalam usaha pengembangan guru dan komunitas sekolah. Artikel terakhir dari Syamsu Rizal Panggabean menawarkan ide segar tentang pentingnya membangun lembaga mediasi di lembaga pendidikan. Apa yang dia sebut sebagai Manajemen Konflik Berbasis Sekolah (MKBS) merupakan seperangkat sistem pengetahuan dan keterampilan tentang resolusi konflik melalui mediasi sejawat (peer mediation) yang sangat penting untuk dilembagakan sehingga sekolah dapat berfungsi menjadi lingkungan belajar yang aman bagi semua. Terdapat tiga komponen utama bagi pelembagaan MKBS ini yaitu peta jalan individu, fokus rujukan kelompok dan konstitusi. Ketiga unsur tersebut dibahas secara detail oleh penulis, sehingga diharapkan dapat menjadi semacam rujukan praktis bagi lembaga sekolah untuk mengkreasinya.Selamat membaca, semoga tulisan akademik yang kami sampaikan dalam jurnal ini dapat memberikan peran nyata bagi pengembangan pendidikan di Tanah Air.