KESULTANAN PEUREULAK DAN DISKURSUS TITIK NOL PERADABAN ISLAM NUSANTARA
Abstract
<p><strong>Abstrak:</strong> Pada Maret 2017, pemerintah Indonesia menetapkan Barus sebagai titik nol peradaban Islam Indonesia, yang ditandai dengan pembangunan sebuah monumen sederhana yang diresmikan langsung oleh Presiden RI. Para sejarawan Muslim memberikan respons terhadap kebijakan tersebut, ada yang mendukung dan ada yang tidak. Penulis merasa penting untuk sekali lagi menekankan bahwa Peureulak di pantai timur Sumatra adalah kerajaan Islam tertua di Indonesia bahkan Asia Tenggara. Sesungguhnya ini sudah merupakan kesimpulan dari sejumlah kajian para sejarawan. Sebab itu, dari perspektif akademik, penetapan Barus sebagai titik nol peradaban Islam masih perlu dikaji dan ditinjau kembali. Sebab meskipun Barus menjadi lokasi pertama yang menerima Islam pertama sekali, tetapi masyarakat Muslim di sana tidak membentuk kekuatan politik, melainkan Peureulak lah yang sukses mencapai kekuatan politik Islam pertama di Nusantara.</p><p><strong>Abstract:</strong> Peureulak Sultanate and the Discourse on ‘Zero Point of Nusantara’s Islamic Civilization’. In March 2017, Indonesian Government officially recognized Barus, a historical small city at the western coast of Sumatra, as the zero point of Indonesian Islamic Civilization. This recognition was marked by a relatively modest monument, inaugurated by the President of the Republic of Indonesia. Muslim historians responded differently: some agree and others disagree. The present author finds it very important to underline once again that Peureulak Sultanate at the eastern coast of Aceh was the first sizeable Islamic Kingdom of not just the Indonesia archipelago but also of the whole Southeast Asian archipelago. As a matter of fact, this has been the conclusion of several historical studies. Therefore, from scholarly point of view, the placement of this important monument at Barus needs to be studied and revisited. While Barus was indeed the first point of the arrival of Islam, the Muslim community there did not form any sizeable socio-political force. Peureulak, on the other hand, was successful in doing so.</p><p><strong>Kata Kunci:</strong> Peureulak, Aceh, Nusantara, politik</p>