PERIWAYATAN HADIS BIL MAKNA Implikasi dan Penerapannya sebagai ‘Uji’ Kritik Matan di Era Modern
Abstract
Salah satu persoalan di bidang hadis yang menjadi topik perdebatan sejak masa shahabat hingga sekarang adalah tentang periwayatan hadis secara makna (al-riwayat bi al-makna). Perdebatan ini muncul terkait dengan kebolehan atau tidaknya periwayatan dengan cara tersebut karena adanya perkataan Nabi yang ‘melarang’ dan ‘membolehkan’, juga adanya kekhawatiran bahwa kebolehan tersebut berpeluang pada berubahnya makna hadis sebagai konsekuensi dari perubahan teks. Jika hal ini dibiarkan, akan berakibat pada kemungkinan terjadinya distorsi dan perubahan ajaran agama. Hanya saja mayoritas ulama membolehkannya dengan sejumlah persyaratan, sebagai bentuk ‘kemudahan’ dalam periwayatan hadis. Dalam perkembangannya, periwayatan bil makna dapat berupa empat variasi periwayatan, yaitu al-ikhtishar dan al-taqthi’, al-taqdim wa al-ta’khir, al-ziyadah dan al-nuqshan, dan al-Ibdal. Adanya variasi pada matan inilah yang kemudian mendorong para pengkaji hadis di era modern, menjadikan persoalan periwayatan bil makna sebagai langkah untuk mengkritisi kembali hadis-hadis Nabi.