MEMBACA PANCASILA: PERSPEKTIF KEARIFAN SUFI JALALL AL-DINN RUMMI

Abstract

Pancasila plays an important role in unifying the various backgrounds in Indonesia. Although it must be noted that today there is a group of Indonesian citizens who still reject Pancasila with reasons not in accordance with Islam. This rejection seems to be caused by a paradigm and a different perspective. Islam is a religion, and Pancasila is an ideology. As an ideology, Pancasila is the objectification of Islam, the religion objective elements exist in Pancasila. Universal values of Islam explicitly animating principle of Pancasila which has principles of divinity, humanity, unity, deliberation, and justice. This article will elaborate on these principles from the perspective of wisdom Sufi Jalal al-Din Rumi (1207- 1273). Sufism thought of Rumi will be used as an analysis tool in “reading” the principles of Pancasila, particularly the principle “Belief in God Almighty” (“Ketuhanan Yang Maha Esa”). The focus of the first principle is due to the historical fact on serious debate between the nationalist Muslims and secular Muslims on the one hand, and other religious groups, on the other hand, so that led to the compromise.   Pancasila memegang peranan penting dalam mempersatukan berbagai macam latar belakang di Indonesia. Meskipun harus diakui bahwa hingga saat ini ada saja sekelompok warga negara Indonesia yang masih menolak Pancasila dengan alasan tidak sesuai dengan Islam. Penolakan ini tampaknya disebabkan oleh paradigma dan cara pandang yang berbeda. Islam adalah agama, dan Pancasila adalah sebuah ideologi. Sebagai ideologi, Pancasila merupakan objektivikasi dari Islam, yakni unsur-unsur objektif agama ada dalam Pancasila. Nilai-nilai universal Islam secara eksplisit menjiwai muatan Pancasila yang berprinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Artikel ini akan mengelaborasi prinsip-prinsip tersebut dari perspektif kearifan (wisdom) sufi agung Jalal al-Din Rumi (1207-1273). Pemikiran tasawuf Rumi akan dijadikan sebagai pisau analisis dalam “membaca” (“reading”) prinsipprinsip Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Fokus terhadap sila pertama ini disebabkan oleh fakta sejarah adanya perdebatan yang serius antara Muslim-Nasionalis dan Muslim sekuler di satu sisi, dan kelompok agama lain, di sisi yang lain, sehingga berujung pada kompromi.