Kearifan Lokal Adat Migou Pa’ Tulangbawang dalam Perspektif Hukum Islam
Abstract
Local wisdom of Indigenous Peoples Migou Pa ‘Tulangbawang Lampung, contains a few anomalies. First, a person who violates customary law will be sanctioned in accordance with the level of the rank of cultures. If he is on the level of indigenous higher, the sanctions given to him will be doubled from legal sanctions must be received by people of customary middle class. In accordance, if he comes from the lowest class, he will get legal sanctions only half of the second level. Second, the natures of anomalies were found on the punishment for adultery to be discharged into the jungle. As adultery is considered an act of animal, the adultery are to be gathered with the animals in the forest. Nowadays, this kind of action could be considered not humane or could also be considered a violation of Human Rights (HAM). All this, according to the author, is intended that people of high rank could be more cautious, more aware of, and even obeying the law. In addition, according to the author, the fact that adultery should be thrown into the jungle is intended to provide a deterrent effect. Third, in the case of violation of the law which should eventually be fined, all members of his clique will be liable to pay a fine. It is intended that the family relatives of the click constantly remind each other that the violation of the law could be fatal. Kearifan lokal Adat Masyarakat Migou Pa’ Tulangbawang Lampung, mengandung beberapa hal anomaly yakni, pertama seseorang yang melakukan pelanggaran hukum adat akan dikenai sanksi sesuai dengan level pangkat adatnya, jika sesorang itu dari level adat yang tinggi maka sanksi hukuman yang diberikan kepadanya akan dua kali lipat dari sanksi hukum yang harus diterima oleh orang yang pangkat adatnya klas menengah, sebaliknya jika sipelaku itu berasal dari kelas terendah maka sanksi hukumnya hanya separuh dari sanksi hukum orang level kedua. Kedua sifat anomaly itu terdapat pada hukuman bagi pelaku zina yang harus dibuang ke rimba, hanya karena perbuatan zina itu telah dianggap sebagai perbuatan binatang, maka para pelaku zina itu harus dikumpulkan dengan hewan–hewan di hutan, untuk zaman sekarang tindakan semacam ini bisa dianggap tidak manusiawi atau juga bisa dianggap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Semua ini menurut penulis dimaksudkan agar orang–orang berpangkat tinggi itu bisa lebih hati–hati, lebih sadar bahkan taat hukum, kemudian pelaku zina harus dibuang ke rimba raya menurut penulis hal ini dimaksudkan untuk memberi efek jera. Ketiga jika terjadi pelanggaran hukum yang akhirnya harus dikenai sanksi denda maka segenap anggota kliknya yang menanggung kewajiban membayar denda itu, dimaksudkan agar sanak family yang satu klik itu senantiasa saling mengingatkan bahwa pelanggaran hukum itu bisa berakibat fatal.