PEMBERLAKUAN HUKUMAN ZINA PADA MASA RASULULLAH SAW DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

Abstract

Hukuman zina di dalam Islam sebaiknya diberlakukan secara bertahap yang di awali dengan peringatan dan yang termaktub dalam surat al-Nisa’: 15-16 dan al-Nur: 2 tanpa mengaitkan status perkawinan. Sedangkan hukuman rajam seharusnya diberlakukan kepada pelaku zina yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pembunuhan seperti kasus pemerkosaan dan sodomi, sebagaimana pemahaman yang tertulis secara keseluruhan mengenai ayat qishas yaitu anggota tubuh yang disebutkan semuanya berada pada wilayah kepala. Penemuan ilmu penologi modern saat ini dapat membuktikannya, dan kapasitas ke otentikan pembuktiannya bisa melebihi dengan syarat-syarat yang diberikan Rasulullah pada pemberlakuan hukuman rajam. Karena bagaimanapun secara antropologis, sosiologis dan bahkan psikologis, seorang individu tidak dapat dipisahkan dengan masyarakatnya. Pada saat itu pula, seorang individu bahkan ribuan individu dalam masyarakatnya berstatus sama, semuanya harus dihargai. Mengenai hukuman mati yang ada di dalam al-Quran hanya satu bentuk yaitu rajam, sebagaimana pemahaman yang termaktub dalam surat al-Maidah: 45 dan ungkapan dalam surat Maryam: 46. Sedangkan jenis hukuman mati yang disebutkan dalam surat al-Maidah: 33 yaitu hukuman dibunuh atau disalib dan dipotong tangan dan kaki secara bersilang lalu dibuang, hanya merupakan kasus-kasus yang terjadi yaitu wafatnya Nabi Isa, yang sampai saat ini masih kontroversial dan kasus pembunuhan mutilasi. Dan hukuman mati berbentuk rajam merupakan hadd yang bersifat Ilahiyah, yang mana hukuman tersebut dapat menghapus dosa pelakunya di dunia, jika dijalani dengan ikhlas.