PRINSIP KEADILAN DALAM IJĀRAH MUNTAHIYAH BI ATTAMLĪK (IMBT); KUH PERDATA vs FIKIH KLASIK

Abstract

Akad IMBT maupun sewa beli pertama kali muncul untukmenampung persoalan bagaimanakah caranya memberikan jalankeluar apabila pihak penjual menghadapi banyaknya permintaandari pembeli untuk membeli barangnya akan tetapi calon pembelibelum mampu membayar harga barang yang dibeli secara tunai.Pihak penjual bersedia menerima harga barang itu dicicil ataudiangsur oleh pembeli tetapi penjual memerlukan jaminan bahwabarangnya sebelum harga dibayar lunas tidak akan dijual lagi olehsi pembeli. Dengan dijadikannya penyewa, maka si pembeliterancam pidana manakala ia sampai berani menggelapkan obyekperjanjian. Keberadaan azas kebebasan berkontrak bagi para pihakyang akan melakukan perjanjian memberikan inspirasi bagi parapengusaha untuk mengembangkan bisnis dengan cara IMBT.Mereka berpandangan bahwa kalau mereka hanya denganmenggunakan jual beli semata maka barang dari pengusaha tidakakan laku, ini disebabkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yangrendah dan tidak memiliki banyak uang kontan.Sementara itu, pengumpulan dua akad dalam satu akad tidak samadengan pengumpulan dua akad yang terjadi dalam sewa-beli. Akadbai‘ yang dikumpulkan dengan akad ijarah atau hibah merupakandua akad yang berbeda dan dilaksanakan secara sendiri-sendiridalam waktu yang berbeda pula. Akad bai‘ merupakan akad pokoksedangkan akad ijarah atau akad hibah merupakan akad tambahansebagai syarat (digantungkannya) akad pokok. Sedangkan dalamsewa beli, akad ijārah dan bai‘ keduanya dicampur menjadi satukemudian dilaksanakan secara sekaligus dalam satu aktivitasmuamalah. Pembayaran yang dilakukakan selama masa angsurandapat berubah fungsi, tergantung dari kemampuan pembeli untukmelunasi angsurannya. Jika pembeli tidak dapat melunasiangsurannya, maka pembayaran tersebut berfungsi sebagai sewa,tetapi jika mampu melunasinya, berfungsi sebagai pembayaran88 │Jurnal ISLAMINOMIC Vol. V. No. 2, Agustus 2016harga jual beli. Adanya karakter sewa beli seperti itu menjadikanbentuk akad dalam sewa beli tidak jelas karena tidak termasukkategori bai’ maupun ijarah, dan tidak pula termasuk kategori akadbersyarat yang dibolehkan. Dengan tidak jelasnya bentuk akadtersebut, kiranya akad sewa beli dapat dikategorikan sebagai akadyang mengandung ”garār”. Selain itu, akad sewa beli yangseringkali disertai dengan klausul-klausul yang meniadakan hakhak pembeli atau yang mengeksploitir pembeli serta terjadinyaketidakseimbangan kedudukan antara penjual dan pembeli. Denganadanya klausul seperti itu, maka sewa beli dapat dikategorikansebagai akad yang mengandung syarat yang dilarang oleh syara’ danbisa juga dikategorikan sebagai akad yang mengandung “gubn”.Tulisan ini diketengahkan guna memperbandingkan kedua konseptersebut.