KONTROVERSI KEPEMIMPINAN POLITIK PEREMPUAN PERIODE PERTENGAHAN: Kasus Pemerintahan Syajarat al-Durr Masa Dinasti Mamlûk
Abstract
Kehidupan Syajarat al-Durr menunjukkan bahwa perempuan mampu menjadi pemimpin politik sebagaimana laki-laki. Masyarakat yang mendukung pengangkatan Syajarat al-Durr me lihat bahwa Syajarat alDurr sebagai sosok yang memiliki kualitas dan kapabilitas untuk menjadi pemimpin. Adapun masyarakat yang menolak kepemimpinannya meyakini bahwa perempuan sama sekali tidak berhak menjadi pemimpin masyarakat karena ke pemimpinan nya tidak akan dapat sukses. Pemerintahan Syajarat al-Durr memberlakukan kebijakan utama untuk mengusir pasukan Salib dari kawasan Mesir sebab saat itu peristiwa perang Salib VII masih berlangsung. Nilai-nilai Islam (ideologi) jelas sekali merupakan pendorong yang amat kuat bagi umat Islam untuk meng halau pasukan Salib. Perang melawan pasukan Salib adalah jihâd fî sabîl Allâh (jihad di jalan Allah) yang diwajibkan oleh ajaran Islam karena manfaat yang dapat dipetik dari aktivitas jihad ber sifat umum dan dirasakan langsung oleh semua umat Islam. Kebijakan lainnya ialah memperkuat dukungan publik terhadap ke pemimpinan Syajarat al-Durr berupa pencetakan koin mata uang yang mencantumkan nama Syajarat al-Durr, pembacaan do’a dalam khutbah Jum’at untuk Syajarat alDurr, pembagian tanah-tanah negara kepada para petinggi Mamlûk dan peringanan beban pajak kepada masyarakat. Tetapi kebijakan tersebut ternyata tidak mampu melunakkan hati para penentangnya, sehingga akhirnya dia dilengserkan dari kekuasaannya.