قضية المطلع والحساب فى اثبات بدايات الشهور القمرية

Abstract

Sebagaimana kita ketahui, pada tahun 2006 kemarin, terjadi perselisihan yang cukup hangat di kalangan umat Islam Indonesia berkaitan dengan permulaan puasa dan hari raya,  bahkan perbedaan tersebut sempat menimbulkan perpecahan di antara mereka menjadi dua kubu yaitu NU dan MD yang hampir membuka kembali luka lama yang sudah sembuh. Masing-masing kubu mempertahankan pendapatnya sesuai dengan hasil hisabnya yang diklaim paling akurat. Sebenarnya perpecahan tersebut tidak perlu terjadi, jika mereka memahami akar masalahnya. Karena para Ulama tempo dulu ternyata sudah menggariskan, bahwa masalah perbedaan puasa dan hari raya berangkat dari dua permasalahan: Pertama, pemahaman tentang mathla’(tempat terbitnya bulan), apakah seluruh kawasan bumi ini dianggap satu mathla’ (sehingga apabila di suatu tempat di belahan bumi ini terjadi rukyah, maka yang lainnya harus ikut. Artinya awal puasa dan idul fitri diseluruh dunia harus bareng) atau masing-masing tempat di belahan bumi ini mempunyai mathla’ sendiri-sendiri? (sehingga setiap negara boleh berbeda tergantung ada ru’yah atau tidak), Kedua, pemahaman tentang ilmu hisab (baik yang taqribi atau tahqiqi), apakah boleh menetapkan puasa dan idul fitri hanya berpegangan pada hisab saja atau harus dibuktikan dengan rukyah?.. Untuk masalah pertama para Fuqoha berselisih menjadi dua kubu, Jumhur Ulama mengatakan seluruh kawasan dunia mathla’nya sama, sehingga awal puasa dan hari raya harus bareng. Sementara itu kalangan Syafi’iyyah justru sebaliknya, setiap kawasan di bumi mempunyai mathla’sendiri-sendiri, sehingga setiap daerah boleh berbeda puasa dan hari rayanya, perbedaan mathla’ tersebut ada yang mengatakan diukur sejauh masafatul qosri (87 km). Pendapat ini banyak didukung oleh Ulama kontemporer. Untuk masalah kedua para Ulama juga berselisih menjadi dua pendapat, Jumhur mengatakan tidak boleh berpegangan dengan hisab belaka, harus dibuktikan dengan rukyah. Sementara itu itu Imam Subki dan Ibnu hajar dari Syafi’iyyah memperbolehkan berpegangan pada hisab saja. Inilah dua masalah yang akan penulis paparkan dengan mengutarakan pendapat para Ulama baik yang klasik maupun kontemporer. Sehingga kita bisa membandingkan dan mengambil mana yang lebih kuat dalilnya