KONSEP PEMBELAJARAN SEUMUR HIDUP DAN NILAI-NILAI TAUHID DI PESANTREN SUKOREJO SITUBONDO JAWA TIMUR

Abstract

Mengkaji pesantren Salafiyah Syai’iyah Sukorejo Situbondo tak ubahnya mengkaji dunia Islam secara mikro namun kompleks. Sebab, secara umum, hakikat pesantren tidak hanya menyajikan asas-asas yang terkenal dengan rukun iman dan rukun Islam. Lebih dari itu, sekitar awal abad ke-19, pesantren ini–yang lebih dikenal dengan pesantren Sukorejo–lahir dan berkembang bersama masyarakat yang khawatir terhadap efek penjajahan sekaligus gerakan kristenisasi. Saat itulah pesantren Sukorejo mulai menanamkan nilai-nilai belajar bersama masyarakat sekitar sekaligus internalisasi tauhid. Fenomena tersebut masih terasa sampai sekarang, yakni kerja sama bidang sosial ekonomi yang kemudian tercetus nilai-nilai etis dalam tradisi Jum’at Manis. Hingga kini, Pesantren Sukorejo pun masih kukuh dengan praktik sosio-mistik bernama Salaf atau salafus shaleh. Abad 18 adalah awal mula munculnya gerakan ini dengan tokoh Muhammad ibn ‘Abd Al Wahhab dari Najd menekankan pentingnya pemurnian atau mengikuti generasi awal (salafus shaleh) yang pada umumnya menentang tasawuf, filsafat, teologi Islam, aliran syi’ah dan perubahan kota-kota Islam klasik sesuai dengan perkembangan seni. Untuk pesantren Sukorejo, gerakan tersebut dipraktikkan sekitar awal tahun 70-an hingga sekarang. Pasca kemerdekaan, penanaman nilai-nilai tersebut belum tuntas. Sampai akhir tahun 70-an, “wajah” pesantren Nusantara masih merupakan bilik-bilik, musala, surau dan ada beberapa yang telah menggunakan masjid sehingga pesantren masih dipandang sebelah mata. Lalu, bagaimana dengan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo? Mulanya, nama besar pesantren tersebut dikenal sebagai pesantren penggembleng ilmu Islam dan ilmu kedigdayaan, yakni pada masa K.H. Syamsul Arifin (1908-1951). Lambat laun, pesantren ini semakin tersohor dimasa kepemimpinan K.H. As’ad Syamsul Arifin (1897-1990, pengasuh kedua), sebagai penerus Pesantren Salafiyah Syafi’iyah sekaligus generasi perintis organisasi Nahdlatul Ulama. Ditambah lagi dengan cara berpikir yang “tajam” dan mendalam mengenai perubahan sistem pesantren dari model sorogan dan bandongan menjadi model madrasi atau madrasah. Model tersebut menambah citra diri pesantren Sukorejo semakin terkenal sebagai pesantren pembaharu, khususnya di pulau Jawa. Kemasyhuran pesantren ini dalam bidang pendidikan madrasah pada tahun 1920-an tidak melupakan unsur spiritual (nilai-nilai tauhid) yang sangat melekat di lubuk santri yaitu ke-ajeg-an zikir kaula anyakse’e serta tradisi tarhim yang dipraktikkan sekitar tahun 1914 sampai sekarang. Selain itu, akhir tahun 90-an, tradisi wiridan di malam jumat manis atau jumat legi yang diikuti oleh “masyarakat sisi” menjadi senandung pengharapan yang ringkas namun mengandung unsur kehambaan pada Allah SWT. Gagasan tersebut dimulai oleh pengasuh ketiga, K.H. Ahmad Fawaid As’ad (1990-2012) dan dilanjutkan oleh pengasuh keempat K.H. Ahmad Azaim Ibrahimy (sejak 2012). Telaah nilai-nilai tersebut serupa kilas balik untuk mengokohkan eksistensi pesantren sebagai salah satu pembentuk budaya Nusantara